lintaspriangan.com, KELAS WARTAWAN. Ini juga kisah nyata, di awal tahun 2000-an. Badai krisis moneter memaksa salah satu perusahaan garment terbesar di Bandung untuk merumahkan lebih dari 50% karyawannya. Perusahaan itu adalah PT. Kahatex, yang berlokasi di daerah Rancaekek, Majalaya, Kabupaten Bandung.
Saat itu saya sedang bekerja di Majalah Berita Mingguan GATRA. Kang Gunadi sebagai Kepala Biro GATRA Jawa Barat ketika itu, menugaskan saya untuk meliput, mendalami informasi perihal PT. Kahatex yang merumahkan ribuan karyawannya. Singkat cerita, saya pun berangkat, dari kantor GATRA Jawa Barat yang berlokasi di komplek kampus UNPAD, Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, menuju PT. Kahatex di Rancaekek.
Saya berangkat menggunakan motor vespa. Melintasi keramaian Kota Bandung, hingga tiba di Jalan Bypass (Jl. Soekarno Hatta). Di perempatan jalan besar ini, saya kemudian meluncur ke arah timur. Jarak tempuh Kantor GATRA ke PT. Kahatex tak bisa dibilang dekat. Sekitar 25 kilometer. Dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam.
Setibanya di Kahatex, saya langsung menemui manajemen perusahaan. Sekitar satu jam saya melakukan wawancara. Tak hanya dengan pihak manajemen perusahaan, tapi juga dengan beberapa karyawan yang terpaksa harus dirumahkan. Ya, beberapa di antara mereka kebetulan sedang ada di kantor, untuk mendapatkan arahan dari manajemen PT. Kahatex.
Singkat kata, liputan beres. Kaset pita kecil berdurasi 90 menit hampir penuh oleh hasil rekaman. Setelah sholiskan, saya pun segera balik kanan, ketika hari sudah melewati pertengahannya.
Setibanya di kantor, saya langsung membuat laporan hasil liputan. Bentuk laporannya sederhana. Hanya menyusun pertanyaan dan jawaban dalam bentuk ketikan, pakai microsoft word. Laporan inilah yang harus saya kirim ke redaktur di Jakarta. Setelah tuntas memutar kaset kecil tadi, laporan tersebut segera saya print dan kirim melalui faksimile.
“Beres sudah satu liputan untuk hari ini. Saatnya sedikit santai,” gumam saya dalam hati, seraya menuju dapur kantor untuk menyeduh kopi hitam.
Tapi, belum juga selesai menikmatai kopi hitam, suara telepon kantor berdering. Tiba-tiba saja hati saya merasa gelisah. Dan benar saja, telepon tersebut untuk saya. Redaktur dari Jakarta, Pak Hidayat Tantan (Kang Tetet, panggilan akrab), meminta untuk berbicara dengan saya.
“Ya, Kang. Gimana?” tanya saya, masih dengan hati yang gelisah.
“Ini di laporanmu kan disebutkan ada sekian ribu karyawan yang dirumahkan. Itu kalau dibuat persentase, jatohnya berapa persen tuh yang dirumahkan?” tanya Kang Tetet.
Woalaah…, pantas hati ini gelisah. Lidah saya kelu ditanya begitu. Karena saya tidak tahu data tersebut. Saya hanya tahu jumlah karyawan yang dirumahkan, tapi lupa menanyakan berapa total jumlah karyawan PT. Kahatex. Mau tak mau, saya harus menempuh lagi perjalanan pulang-pergi sejauh 50 kilometer, untuk secuil informasi yang saya lewatkan.
Apa yang saya alami di atas, pasti banyak dialami juga oleh wartawan lain, terutama wartawan yang baru mulai bertugas. Kasunya, data tidak lengkap! Dan sejak itu, agar tidak terjadi lagi hal serupa, saya selalu membuat daftar pertanyaan selengkap-lengkapnya sebelum berangkat liputan.
Ingat, pada dasarnya, wartawan itu harus mencari informasi 5W-1H. Ini yang disebut unsur berita. Apa (What), Siapa (Who), Dimana (Where), Kapan (When), Kenapa (Why) dan Bagaimana (How). Secara teori, tidak bisa disebut berita, ketika satu unsur saja tidak ada. Semuanya harus ada, harus lengkap. Tapi saat bertugas, sekedar pemenuhan 5W-1H saya tidak cukup. Atau lebih tepatnya, tidak akan membahagiakan redaktur kita. Informasi unsur tersebut bukan saja harus lengkap, tapi juga detil.
Contoh misalnya tentang unsur Siapa (Who). Wartawan yang cermat, tidak akan merasa cukup hanya dengan tahu nama narasumber saja. Apalagi kalau hanya tahu nama pendek, atau lebih parah lagi nama samaran. Jangan merasa cukup dengan hanya nama. Buatlah pendalaman untuk setiap unsur berita. Contoh tentang “Siapa”. Selain nama lengkap, coba cari juga informasi usia, profesi, atau status pernikahan.
Begitupun dengan unsur lain. Misal tentang unsur Where (Dimana). Rumus sederhananya, ketika sebuah informasi makin detil dan banyak, maka makin baik. Jangan merasa cukup hanya dengan tahu wilayah Tempat Kejadian Perkara (TKP). Perdalam informasi lebih detil, agar redaktur bisa menulis berita yang lebih bermanfaat dan enak untuk pembaca. Misal, jangan hanya menyebutkan TKP di Cipedes, Kota Tasikmalaya. Perkuat dengan informasi lain. Misalnya, “di dekat Bundaran Simpang Lima, tepatnya di jalan yang menuju ke arah Bandung.”
Saat saya jadi redaktur, menulis berita berdasarkan laporan dari reporter di lapangan, seberapa detil informasi ini benar-benar menentukan mood menulis. Kalau tidak lengkap, seada-adanya, mood langsung nge-drop sampe ujung ibu jari kaki. Malas bawaanya. Kalaupun dipaksakan, tidak akan memuaskan pembaca. Tapi ketika bahan beritanya lengkap, redaktur akan leluasa berkreasi, menyuguhkan berita terbaik untuk pembacanya.
Contoh manfaat ketika unsur beritanya detil. Misal unsur “Siapa: Namanya (1) Bernama Mulyadi, (2) usianya 56 tahun, (3) bekerja sebagai guru honrer, (4) punya anak tiga.” Dengan data tersebut, si redaktur bisa menulis unsur “Siapa” dengan menggunakan nama, atau kata ganti lainnya. Selain memperkaya informasi, hal ini juga membuat tulisan lebih hidup, tidak monoton. Contohnya seperti di bawah ini:
“Pria yang tadi mendapat hadiah utama dari Bank BRI itu bernama Mulyadi. Ia terlihat kaget sekaligus bahagia. Ayah tiga anak ini tak mengira, hari ini ia akan menjadi hari keberuntungannya. Guru honorer di sebuah SD di Kota Tasikmalaya ini sama sekali tak pernah berani bermimpi, untuk bisa memiliki sebuah mobil mewah. Terlebih, saat ini usianya sudah menjelang 57 tahun. Hanya sekitar tiga tahun lagi masa kerjanya, sebelum menginjak usia pensiun.”
Bisa kita bayangkan, betapa kakunya paragraf di atas, jika semua kata bercetak tebal hanya bisa diisi oleh kata “Mulyadi”, secara berulang-ulang.
So, intinya, makin lengkap, makin mantap! (Lintas Priangan).