lintaspriangan.com, KELAS WARTAWAN. Ini kisah nyata, ketika saya masih bekerja sebagai wartawan di Majalah Islam Sabili, Biro Jawa Barat. Satu saat, ada penugasan dari Jakarta. Saya harus mewawancarai seorang narasumber di wilayah Cianjur Kota, lalu lanjut liputan ke sebuah lokasi penampungan di Kecamatan Cidaun, masih di Kabupaten Cianjur.
Setelah perjalanan selama dua jam lebih sedikit, saya tiba di Cianjur Kota. Lalu bertemu dengan salah seorang narasumber untuk wawancara. Hanya sekitar satu jam, wawancara beres. Jarak Bandung ke Cianjur Kota itu sekitar 70 kilometer. Dari sana, perjalanan lanjut ke Cidaun.
Perjalanan menuju Cidaun ternyata butuh perjuangan yang lumayan. Meski sama-sama masuk wilayah Cianjur, jarak tempuh dari Cianjur Kota ke Kecamatan Cidaun ternyata hampir dua kali lipat jarak Bandung-Cianjur Kota. Sekitar 137 kilometer!
Bukan sekedar jauh, tapi medannya pun tak nyaman. Rasanya, jalur yang dilalui tak pernah bertemu jalan lurus. Kalau bukan belok kiri, ya ke kanan. Kalau tidak menurun, ya menanjak. Begitu terus, membuat perut saya dan Kang Ajo, sopir mobil rentalan, sama-sama mual. Dan karena itu, kami sama-sama tak berani buka mulut. Tak ada perbincangan di antara kami sepanjang menuju Cidaun.
Singkat cerita, saya tiba di Kecamatan Cidaun. Saya langsung menuju Kantor Koramil Cidaun, untuk konsultasi dan minta arahan menuju lokasi liputan. Topik yang saat itu harus saya liput adalah tentang orang Sunda yang sebelumnya tinggal di Ambon, diungsikan oleh pemerintah ke Cidaun. Ini dilakukan karena di Ambon terjadi kerusuhan SARA. Kenapa orang Sunda yang di Ambon tidak langsung dikembalikan ke kampung halamannya saja? Kok malah diungsikan ke lokasi terpencil di Cidaun? Pertanyaan itulah yang ingin dicari jawabannya oleh Sabili.
Meski sudah tiba di Kecamatan Cidaun, perjuangan liputan tampaknya masih jauh dari kata tuntas. Lokasi pengungsian ternyata cukup jauh dari pusat pemerintahan Kecamatan Cidaun. Dan Kang Ajo, tak bisa menemani. Musim hujan membuat jalanan menuju lokasi menjadi sangat licin, berbahaya untuk kendaraan roda empat. Akhirnya saya menempuh jalur alternatif sesuai saran dari Koramil. Saya dibonceng oleh salah seorang anggota TNI dari Koramil Cidaun, menggunakan sepeda motor.
Gerimis yang rapat menemani perjalanan kami menuju lokasi. Waktu sudah semakin sore, sudah sekitar ashar. Sepatu dan celana sudah mulai kotor oleh lumpur jalan yang dilalui. Dan… ketika jarak ke lokasi tinggal 1-2 kilometer lagi, ternyata jembatannya roboh. Ya, ada sungai yang harus kami sebrangi untuk sampai di lokasi, tapi jembatannya roboh, dilahap air sungai yang meluap karena curah hujan tinggi sejak dua hari lalu.
Saya menghela nafas, dan sempat terfikir untuk menyerah. Dari Bandung ke Cianjur itu 70 kilometer. Lanjut ke Cidaun sekitar 140 kilo meter. Sudah 210 kilometer perjalanan saya tempuh, tapi harus berakhir di tiang jembatan yang roboh.
Saya segera kembali ke Koramil Cidaun, dan segera mencari wartel terdekat. Waktu itu belum ada handphone. Saya segera melaporkan kondisi di lapangan kepada redaksi di Jakarta. Lalu, apa jawaban redaksi?
“Tugas liputan itu tugas Anda. Tugas saya itu menulis laporan Anda jadi berita.” (Bang Lili redakturku, ingatkah Abang dengan jawaban ini? :))
Huh! Intinya, redaktur tidak mau tahu kondisi di lapangan seperti apa. Dia hanya menunggu laporan hasil liputan dari saya. Hampir ingin menyerah, tapi ada rasa malu karena baru masuk kerja sekitar tiga bulan. Masa baru tiga bulan mengundurkan diri.
Saya menghampiri Kang Ajo yang sedang ngopi di sebuah warung dekat Koramil Cidaun. Tak disangka, dia menyemangati saya. Ia mengajak saya untuk melanjutkan tugas, tapi dengan menempuh jalur lain.
“Memangnya ada jalur lain, Kang?”
“Ada. Kita balik dulu ke Cianjur Kota, terus ke Bandung lagi, nanti dari Bandung, kita ke Cidaun lewat jalur Banjaran,” terangnya, entang.
Edan! Demi sebuah liputan, perjalanan sepanjang 210 kilometer itu harus saya ulang dari awal!
Sejak pengalaman liputan itu, saya jadi yakin dengan materi dalam buku Vademekum Wartawan terbitan Kompas. Kalau tidak salah, buku tersebut jadi buku wajib bagi siapapun yang sedang berstatus Carep, alias Calon Reporter Kompas. Di bagian awal buku itu ada materi yang kurang lebih menjelaskan tentang, apa sebenarnya modal awal jadi wartawan. Apakah kemampuan menulis? Kemampuan komunikasi? Punya jejaring yang kuat? Punya kamera bagus? Ternyata bukan itu. Apalagi sekedar satu lembar kartu pers. Sama sekali bukan itu.
Modal awal jadi wartawan adalah vitalitas! Apa yang dimaksud dengan vitalitas? Kata KBBI, arti dari vitalitas adalah kemampuan untuk bertahan hidup. Intinya, vitalitas itu tidak mudah menyerah. Buku Vademekum Wartawan Kompas itu ingin memberikan gambaran, mencari berita itu tidak mudah. Kalau kita gampang lelah dan menyerah, jangan mimpi bakal betah jadi wartawan. (Lintas Priangan)