3 Hikmah Kebangkitan Nasional, Pesan Kesbangpol Kota Tasikmalaya untuk Generasi Muda

lintaspriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Selalu ada yang berbeda saat Indonesia tiba di bulan Mei. Nuansa ini tak bisa terlepas dari fragmen sejarah 117 tahun silam, yang memang terjadi di bulan Mei. Andai tak ada momentum penting di bulan Mei 1908, bukan mustahil pekik proklamasi kemerdekaan pun tak berkumandang pada Agustus 1945. Momentum Kebangkitan Nasional pada Mei 1908, ibarat kecambah yang kelak berbuah di tanggal 17 Agustus 1945.

Penjelasan tersebut dipaparkan Kepala Badan Kesbangpol Kota Tasikmalaya, Drs. Ade Hendar, M.M., saat berbincang ringan dengan Lintas Priangan, di awal Mei 2025. Ade yakin, titik tolak kemerdekaan Indonesia berawal dari Mei 1908.

“Bangsa kita kan sudah berhadapan dengan kekuatan kolonialisme sejak abad ke-16. Sudah lama sekali. Kenapa baru merdeka di abad ke-20? Apakah leluhur kita tidak berani melawan? Salah besar. Sejak mereka datang, bangsa ini sudah memberikan perlawanan. Contoh misalnya perlawanan dari Sultan Iskandar Muda,” terang Ade.

Menurut Ade, leluhur bangsa Indonesia banyak memberikan perlawanan, tapi selalu berujung dengan kegagalan. Kenapa? Karena nasionalisme belum tumbuh. Pelawanan yang dilakukan masih bersifat kedaerahan. Kapan bangsa pribumi mulai memiliki rasa persatuan dan kesatuan? Ini jawabannya, Mei 1908.

“Andai pada Mei 1908 tidak lahir Boedi Oetomo, duka nepi iraha bangsa urang dijajah,” tegas Ade.

Boedi Oetomo adalah organisasi pertama di wilayah Nusantara yang berlandaskan konsep nasionalisme. Ini organisasi pertama yang anggotanya berasal dari berbagai suku-bangsa yang ada di bumi Nusantara. Dan ini organisasi pertama yang mulai berbicara, bahwa semua pulau, suku, bangsa yang ada di wilayah Nusantara, merupakan satu kesatuan.

“Nah, khususnya di tahun 2025 ini, dalam rangka memperingati momentum Kebangkitan Nasional, ada tiga hikmah yang ingin saya sampaikan, khususnya untuk para pemuda di Kota Tasikmalaya,” tambah Ade.

Tiga hikmah yang disampaikan Ade merupakan hasil kajian, yang berkaitan dengan karakter pemuda di era kebangkitan nasional. Sejarah mencatat, jelas-jelas kaum muda-lah yang selalu menjadi garda terdepan dalam momentum penting bangsa ini, termasuk salah satunya momentum Kebangkitan Nasional.

“Hikmah pertama, ternyata generasi muda yang mampu melahirkan dan mendirikan bangsa besar ini, adalah tipe pemuda yang terbuka,” ujar Ade.

Lebih jauh Ade memaparkan, kebangkitan mustahil lahir dari keangkuhan. Boedi Oetomo adalah bukti bahwa kemajuan bisa terjadi saat pemuda mau membuka diri terhadap arahan orang-orang bijak. Para pendirinya adalah mahasiswa School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA), namun semangat mereka dipantik oleh sosok Dr. Wahidin Soedirohoesodo—seorang tokoh yang jauh lebih senior.

Dr. Wahidin tidak memaksa, ia hanya menawarkan ide tentang pentingnya pendidikan bagi Bumiputra. Ia manawarkan menu nasionalisme untuk dicerna. Dan yang luar biasa, para pemuda itu tidak menutup telinga. Mereka mendengar, merenung, dan mengambil langkah nyata. Hari ini, ketika dunia dibanjiri informasi dan ego mudah tersulut, pemuda yang mampu merendahkan hati untuk belajar dari pengalaman orang tua adalah pemuda tangguh yang sesungguhnya.

“Lalu hikmah kedua. Apakah baru pada awal tahun 1900-an bangsa ini punya generasi muda? Tentu tidak. Setiap generasi punya segmen pemuda. Tapi kenapa para pemuda 1908 yang berhasil menorehkan tinta emas? Karena mereka memiliki ilmu pengetahuan!” tegas Ade.

Perlu dicatat, Kebangkitan Nasional bukan dimotori oleh kekuatan fisik atau ekonomi, melainkan kekuatan intelektual. Mahasiswa STOVIA—anak-anak muda dengan kecintaan tinggi terhadap ilmu—menjadi pionir perubahan. Mereka mengubah percakapan di kelas menjadi gagasan untuk masa depan bangsa.

Ade melanjutkan, hari ini, saat akses pendidikan makin terbuka, tantangan kita justru menjaga kualitas dan semangat belajar itu sendiri. Pemuda yang ingin punya daya-ubah tak cukup hanya viral, tapi harus substansial.

“Hikmah ketiga, pemuda unggul di 1908, cermat menilai konteks. Mereka tidak terburu-buru terjun ke wilayah politik. Mereka berstrategi,” ujar Ade.

Ade mengungkap fakta, bahwa Boedi Oetomo tidak langsung masuk ke ranah politik. Mereka memilih jalan pendidikan dan kebudayaan lebih dulu. Ini bukan karena takut, tapi karena cerdas membaca konteks. Mereka tahu, sebelum melawan kolonialisme, rakyat perlu disadarkan dan dikuatkan terlebih dahulu. Bagi pemuda saat ini, tentu ini menjadi pelajaran penting. Bergerak dengan strategi, bukan sekadar semangat, adalah cara terbaik untuk menciptakan perubahan yang tahan lama.

“Tentu bukan berarti menjauh dari isu bangsa, tapi memetakan langkah dengan cermat. Jadi tiga ya. Pertama membuka diri, kedua tidak berhenti belajar, dan yang ketiga cermat!” pungkas Ade. (Lintas Priangan)

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More