Gaza, 2 Bulan di Tengah Kegelapan, Lapar dan Kepungan

lintaspriangan.com, BERITA DUNIA. Sudah dua bulan lamanya Gaza terkurung dalam blokade total. Sejak Maret 2025, jalur masuk bantuan kemanusiaan dari Rafah hingga Kerem Shalom tertutup rapat. Tidak ada makanan. Tidak ada obat-obatan. Tidak ada bahan bakar. Yang tersisa hanya tangis, kelaparan, dan kegelapan.

Di salah satu sudut kamp pengungsian di Khan Younis, seorang ibu bernama Amal duduk memeluk anaknya yang kurus dan lemas. “Tiga hari ini kami hanya makan roti kering dan air keruh. Anak saya demam, tapi apotek kosong. Rumah sakit pun tak lagi menerima pasien,” katanya pelan, sambil mengelus rambut anaknya yang mulai rontok karena kekurangan gizi.

Blokade total Israel terhadap Gaza ini membuat lebih dari 2,2 juta penduduk sipil terkepung, tanpa akses pada kebutuhan paling dasar. Bahan bakar telah habis. Dapur umum—yang sebelumnya menjadi satu-satunya sumber makanan bagi ribuan keluarga—terpaksa tutup. Generator rumah sakit mati. Inkubator bayi tidak berfungsi. Pendingin vaksin rusak. Para tenaga medis bekerja dalam kegelapan dengan alat seadanya, bertaruh nyawa untuk setiap nyawa yang mereka coba selamatkan.

Menurut laporan terbaru dari PBB dan organisasi kemanusiaan internasional, setidaknya 85% populasi Gaza kini bergantung sepenuhnya pada bantuan luar, namun bantuan itu tak pernah sampai. “Ini bukan sekadar krisis kemanusiaan. Ini adalah bencana buatan manusia,” ujar Martin Griffiths, Kepala Urusan Kemanusiaan PBB.

Suara anak-anak yang menangis karena lapar kini menggema menggantikan riuh tawa di halaman sekolah-sekolah yang telah berubah menjadi tempat penampungan. Di Jalur Gaza bagian utara, lebih dari 70% infrastruktur air bersih hancur. Banyak keluarga terpaksa meminum air tercemar, memicu wabah diare dan penyakit kulit.

Ruang-ruang perawatan di rumah sakit Al-Shifa hanya menyisakan dinding kosong dan suara rintih kesakitan. “Kami tidak punya antibiotik. Tidak punya perban. Kami bahkan tidak punya cukup air bersih untuk mencuci tangan,” ujar seorang dokter yang meminta identitasnya disamarkan.

Kekurangan bahan bakar juga berarti ambulans tak bisa bergerak. Korban luka harus dipanggul dengan tandu, atau bahkan digotong dengan tangan melewati reruntuhan bangunan. “Kami melihat orang sekarat bukan karena luka mereka parah, tapi karena mereka tak bisa dibawa ke rumah sakit tepat waktu,” kata seorang relawan medis.

Blokade ini bukan hanya soal logistik. Ini soal kemanusiaan. Ini tentang seorang anak bernama Yusuf yang tidak mengerti mengapa susunya habis. Tentang Noura, perempuan lanjut usia yang harus memilih antara makan atau memberikan roti terakhirnya kepada cucunya. Tentang mereka yang bukan kombatan, bukan pejuang, bukan politikus—melainkan warga sipil biasa yang hanya ingin bertahan hidup.

Ketika dunia terhubung dengan internet berkecepatan tinggi dan layanan cepat saji 24 jam, di Gaza, waktu berjalan lambat. Setiap detik adalah pertarungan. Setiap malam adalah doa agar masih bisa melihat pagi. Tapi sampai kapan mereka harus bertahan dalam sunyi, dalam gelap, dalam lapar?

Krisis Gaza saat ini bukan hanya berita luar negeri. Ini adalah cermin nurani dunia. Sebuah pertanyaan yang menggantung: apakah kita masih punya cukup ruang dalam hati untuk peduli?

Sebagian kita mungkin sudah sibuk mencari domba dan sapi untuk qurban. Sebagian lain sibuk mengupload foto selfie di cafe langganan. Tak apalah. Dunia memang seringkali mendadak lupa tentang Gaza. Tapi setidaknya, mari gumamkan sebait doa untuk kebaikan warga Gaza. (Lintas Priangan/dari berbagai sumber)

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More