Berita Itu Butuh Pelatuk!

lintaspriangan.com, KELAS WARTAWAN. Setiap berita yang baik pasti punya alasan untuk lahir.
Ia muncul bukan sekadar karena wartawan ingin menulis, tapi karena ada sesuatu yang sedang terjadi, sekarang, di sini, dan relevan bagi pembaca.
Masalahnya, banyak berita hari ini kehilangan “alasan kelahirannya”.
Banyak reporter yang semangat mengejar kutipan, sibuk menulis kronologi, tapi lupa menanyakan hal paling sederhana, “kenapa berita ini penting hari ini?”
Dan di situlah sering hilangnya pelatuk berita, atau dalam istilah jurnalistik profesional disebut “peg”.
Apa Itu Peg, dan Mengapa Ia Sepenting Itu?
Dalam bahasa Inggris, peg berarti gantungan, kait, atau tempat bergantung.
Dalam jurnalisme, peg adalah alasan aktual kenapa berita itu muncul hari ini. Peg ini semacam pelatuk yang menyalakan pistol informasi agar “meletus” dan terdengar oleh publik.
Tanpa peg, berita hanyalah kumpulan fakta. Tapi dengan peg, berita menjadi cerita yang hidup, punya konteks, punya arah, dan terasa meaningful.
Misalnya begini:
“Pemkot Tasikmalaya menanam 1.000 pohon di kawasan Leuwidahu.”
Berita ini informatif, tapi hambar. Mengapa sekarang? Mengapa ini penting?
Sekarang bandingkan:
“Menjelang peringatan Hari Pohon Sedunia, Pemkot Tasikmalaya menanam 1.000 pohon di kawasan Leuwidahu.”
Langsung terasa relevan, bukan?
Tiba-tiba ada alasan waktu, ada urgensi, ada kaitan dengan isu lingkungan global.
Itulah fungsi peg: menggantung berita pada konteks yang lebih luas dan aktual.
Peg Adalah Jiwa Aktualitas
Dalam prinsip dasar jurnalistik, salah satu unsur paling penting adalah aktualitas.
Pembaca membaca berita karena ingin tahu apa yang sedang terjadi, bukan apa yang sudah terjadi minggu lalu.
Aktualitas inilah yang disediakan oleh peg.
Ia adalah tanda waktu dan alasan keberadaan berita, menjawab pertanyaan “why now?”
Bayangkan Anda menulis berita tentang harga cabai naik.
Tanpa peg, berita Anda akan terdengar seperti ini:
“Harga cabai di Pasar Cikurubuk naik menjadi Rp 80.000 per kilogram.”
Biasa saja. Tapi ketika Anda tambahkan peg:
“Menjelang musim hujan, harga cabai di Pasar Cikurubuk naik menjadi Rp 80.000 per kilogram akibat pasokan terganggu.”
Sekarang berita itu hidup.
Ada konteks waktu (menjelang musim hujan), ada sebab-akibat (pasokan terganggu), ada alasan mengapa pembaca perlu tahu sekarang.
Peg, Angle, dan Nilai Berita: Satu Paket yang Tak Terpisahkan
Peg sering disamakan dengan angle, padahal keduanya beda tapi saling berkaitan.
- Peg adalah alasan aktualnya (kenapa hari ini?).
- Angle adalah sudut pandangnya (dari sisi mana kita melihat isu itu?).
Contoh:
- Peg: HUT Kota Tasikmalaya ke-24.
- Angle: “Di balik gemerlap perayaan, masih ada warga yang merasa belum merdeka dari pengangguran.”
Peg memberi momentum.
Angle memberi makna.
Keduanya bersama-sama membuat berita punya “isi” dan “jiwa”.
Kalau peg adalah pelatuknya, maka angle adalah arah larasnya.
Peg menyalakan berita, angle mengarahkannya agar tepat sasaran.
Jenis-Jenis Peg yang Perlu Dikenal Wartawan
Agar tidak terjebak pada pola “liputan rutinitas tanpa arah”, wartawan perlu kreatif menemukan peg.
Ada banyak jenis peg yang bisa digunakan, di antaranya:
1. Peg Peristiwa (Event Peg)
Kaitkan berita dengan peristiwa nyata yang sedang berlangsung.
“Setelah hujan deras semalaman, sejumlah titik di Cibeureum terendam banjir.”
2. Peg Kalender (Anniversary Peg)
Gunakan momentum tahunan atau peringatan khusus.
“96 tahun Sumpah Pemuda, semangat kolaborasi pemuda diuji di era polarisasi digital.”
3. Peg Kebijakan
Berita muncul karena ada regulasi, keputusan, atau kebijakan baru.
“Setelah aturan baru BKN diberlakukan, seleksi jabatan di Tasikmalaya kini tak lagi lewat open bidding.”
4. Peg Figur atau Tokoh
Peg bisa muncul dari pernyataan, tindakan, atau fenomena yang melibatkan tokoh publik.
“Usai kunjungan Dedi Mulyadi, warga ramai menilai konsep ‘Abdi Negeri Nganjang ka Warga’ sebagai bentuk politik kebudayaan.”
5. Peg Isu Global atau Tren Sosial
Kadang, berita lokal bisa dikaitkan dengan isu yang lebih besar.
“Saat dunia membicarakan krisis pangan, petani muda di Rajapolah justru menanam varietas lokal yang nyaris punah.”
Peg seperti ini membuat berita lokal terasa punya napas global.
Kesalahan Wartawan: Menulis Tanpa Pelatuk
Banyak wartawan muda menulis seperti membuat laporan kegiatan.
Semua fakta disusun, semua kutipan dimasukkan, tapi pembaca tetap tidak merasa perlu peduli.
Mengapa? Karena tak ada pelatuk.
Mereka menulis apa yang sedang terjadi, bukan kenapa itu penting hari ini.
Berita tanpa peg ibarat kembang api yang tidak dinyalakan:
warnanya ada, bentuknya ada, tapi tak pernah menyala.
Ingat: wartawan bukan tukang catat, tapi penyampai makna aktual.
Tugasnya bukan hanya menulis fakta, tapi juga menempatkan fakta itu dalam konteks waktu dan relevansi.
Jangan juga menulis hanya karena suasana pribadi.
Misal ada wartawan yang sedang memiliki hubungan asmara dengan seseorang yang jauh di sana. Lalu tiba-tiba, dia menulis tentang “Long Distance Relationship alias LDR”.
Cara Menemukan Peg di Lapangan
Menemukan peg sebenarnya mudah, asal wartawan mau berpikir selangkah lebih dalam dari sekadar “apa yang terlihat”.
Berikut tips yang bisa diterapkan:
Tanyakan “kenapa hari ini?” setiap kali mau menulis.
Kalau jawabannya tidak jelas, berarti belum ada peg.
Hubungkan dengan kalender publik.
Lihat apakah berita Anda berkaitan dengan peringatan, musim, atau agenda masyarakat.
Perhatikan peristiwa besar.
Kadang berita kecil bisa menggantung pada peristiwa nasional.
Misalnya: liputan warung tenda malam hari bisa dikaitkan dengan inflasi nasional atau daya beli masyarakat.
Temukan makna di balik kebetulan.
Kadang peg tidak harus besar, tapi justru lahir dari kebetulan yang menarik.
“Di tengah naiknya harga beras, kelompok ibu rumah tangga di Tawang justru panen padi dari kebun kota.”
Belajar membaca momentum sosial.
Wartawan hebat adalah yang peka melihat gelombang di bawah permukaan sebelum jadi ombak besar.
Peg Sebagai Pintu Menuju Cerita yang Lebih Dalam
Peg yang kuat sering kali membuka jalan ke liputan mendalam.
Dari satu momentum kecil, wartawan bisa mengembangkan cerita besar.
Misalnya, peg “musim kemarau” bisa menjadi pintu masuk untuk liputan tentang krisis air, urbanisasi, atau bahkan kebijakan tata ruang.
Peg “HUT kota” bisa membawa wartawan menulis refleksi pembangunan, sejarah urban, atau wajah kota yang berubah.
Peg hanyalah pelatuk, tapi dari pelatuk itulah seluruh cerita bisa meletus dan bergema.
Jadilah Pemburu Peg, Bukan Sekadar Penulis Fakta
Setiap wartawan sejati adalah pemburu makna.
Ia tidak hanya bertanya “apa yang terjadi”, tapi juga “kenapa ini penting bagi publik sekarang?”.
Peg bukan teori; ia adalah naluri jurnalistik yang terasah oleh kepekaan waktu dan konteks.
Ia mengajarkan kita untuk tidak menulis berita hanya karena ada kegiatan, tapi karena ada alasan bagi masyarakat untuk tahu.
Maka ingatlah,
“Berita tanpa peg adalah pistol tanpa pelatuk, akan menjadi senyap, tak berguna, tak pernah menyalak.”
Tugas wartawan adalah memastikan setiap berita yang ditulis punya pelatuk yang menyalakan kesadaran publik.
Karena di situlah letak kemuliaan profesi ini, bukan hanya menyebar informasi, tapi membangunkan kepekaan zaman.




