Tajuk

Tasik Harus Waspada, Unjuk Rasa Kemarin Bukan Aksi Biasa

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Jumat 29 Agustus 2025, halaman Mapolres dan Gedung DPRD Kota Tasikmalaya berubah jadi panggung gaduh. Ratusan orang—yang di pemberitaan menyebut diri “Rakyat Ingin Revolusi”—berorasi soal dua hal: kematian seorang pengemudi ojol di Jakarta yang tertabrak kendaraan taktis Brimob, dan isu kenaikan gaji anggota DPR RI.

Suasana memanas saat rombongan lain bergabung; saling dorong, lemparan botol dan batu, luka-luka di dua pihak, lalu arak-arakan ke DPRD yang berakhir dengan perusakan gerbang, pos satpam, kaca, bahkan ruang paripurna, lengkap dengan coretan-coretan di dinding. Massa kian marah karena tak satu pun anggota dewan muncul menyapa. Semua ini terekam dalam laporan Lintas Priangan yang terbit beberapa jam setelah kejadian.

Lintas Priangan terus mencermati jalannya aksi, dan kesimpulan sementara kami sederhana: ini bukan unjuk rasa “biasa.” Ada beberapa indikator yang patut dibaca serius dalam peristiwa aksi kemarin:

Pertama, identitas massa yang kabur. Sulit memetakan siapa sesungguhnya penggerak utama di lapangan. Solidaritas ojol? Elemen buruh? Mahasiswa? Atau siapa? Kekaburan ini karena atribut resmi hampir tak tampak: tak ada jas almamater, tak ada bendera organisasi, jaket/helm ojol pun nyaris nihil. Warna yang paling dominan justru hitam-hitam. Ketika koridor identitas sengaja dibuat samar, agenda pun lebih mudah disamarkan.

Kedua, “war setting” sejak awal. Bahkan sebelum konsentrasi massa benar-benar terkumpul di gerbang DPRD, lemparan batu sudah mulai melayang ke arah gedung DPRD. Mereka datang dengan setting war (perang). Itu tanda eskalasi yang direncanakan, bukan spontanitas belaka.

Ketiga, upaya menutup identitas. Mayoritas peserta menutup wajah. Ada yang mengenakan masker, syal, atau kain. Di satu sisi ini bisa jadi alasan keamanan. Tapi di sisi lain, ia mengaburkan struktur komando dan tanggung jawab.

Keempat, vandalisme dengan simbol-simbol transnasional. Coretan-coretan yang muncul bukan sekadar makian lokal. Ada gambar “Ⓐ” (simbol anarkis), ada juga coretan “ACAB,” ada pula angka “1312”. Ini bukan sekadar simbol ekspresi marah; ini kosa-kata politik yang punya sejarah panjang lintas negara dan subkultur.

Agar publik tidak terjebak pada salah-baca, berikut konteks ringkas—berdasarkan sumber-sumber yang bisa ditelusuri:


Apa itu anarko-sindikalisme?
Secara gampangnya, ini adalah aliran dalam gerakan buruh yang percaya bahwa pekerja harus melawan sistem kapitalisme dan negara dengan cara aksi langsung. Misalnya dengan mogok massal, aksi boikot, atau bahkan sabotase, tanpa menunggu wakil rakyat atau politisi. Tujuannya: mengganti negara dan perusahaan besar dengan sistem komunitas atau serikat pekerja yang mengatur diri sendiri. Gerakan ini sudah ada sejak awal 1900-an di Eropa, khususnya Prancis dan Spanyol, lalu menyebar ke berbagai belahan dunia.

Simbol Ⓐ dalam lingkaran
Huruf A dalam lingkaran adalah simbol paling dikenal dari kelompok anarkis. A melambangkan “Anarki,” lingkaran melambangkan “Order” atau keteraturan. Maknanya: “Anarki adalah keteraturan,” yaitu masyarakat bisa tertib tanpa perlu penguasa atau polisi. Simbol ini mulai terkenal di Eropa tahun 1960-an hingga 1970-an, dan kemudian dipakai luas dalam budaya punk dan protes jalanan di seluruh dunia.

ACAB dan 1312
ACAB adalah singkatan dari bahasa Inggris: All Cops Are Bastards. Artinya kira-kira “Semua Polisi Jahat.” Istilah ini muncul di Inggris sejak awal abad ke-20 dan kemudian populer lewat kultur punk, skinhead, hingga aksi-aksi protes. Di dinding, tembok, atau bahkan tato, kata ini sering ditulis sebagai bentuk perlawanan terhadap polisi yang dianggap sewenang-wenang.
Sementara “1312” hanyalah kode angka dari ACAB: A=1, C=3, A=1, B=2. Jadi ketika melihat coretan 1312, itu sebenarnya sama saja dengan ACAB.

Apa artinya simbol-simbol ini muncul di Tasik?
Kita perlu hati-hati membaca tanda. Simbol-simbol ini bukan khas Tasik, bahkan bukan khas Indonesia. Itu “bahasa global” protes jalanan. Artinya bisa macam-macam: dari benar-benar ideologi serius sampai sekadar tren yang dipinjam anak muda. Tapi yang jelas, munculnya simbol ini menunjukkan ada arus yang lebih luas dari sekadar solidaritas ojol atau unjuk rasa soal gaji DPR. Ada ekspresi kemarahan yang menghubungkan Tasik dengan pola protes di berbagai belahan dunia.


Lalu, apa yang harus dipelajari Tasik dari ini?

Pertama, pemetaan harus berubah. Kalau dulu gampang ditebak: ada demo mahasiswa ya pakai jas almamater, ada demo buruh ya pakai seragam. Sekarang banyak aksi yang sengaja tak beratribut, bahkan menutup wajah. Artinya, cara lama membaca identitas massa sudah tidak cukup.

Kedua, cara aparat menghadapi demo juga harus menyesuaikan. Kalau tanda-tanda kerusuhan sudah muncul sejak awal, penanganan tak bisa lagi reaktif. Harus ada strategi komunikasi, zona penyangga, dan jalur negosiasi cepat sebelum emosi massa meledak. Sejujurnya, cukup aneh sebenarnya, ketika aparat kepolisian tidak bisa membaca potensi yang akan terjadi di gedung DPRD.

Ketiga, pejabat dan wakil rakyat tidak boleh hilang dari panggung. Dalam situasi panas, sekadar hadir dan mendengar bisa jadi peredam penting. Jangan biarkan akar rumput disapa dan dijejali hasutan-hasutan. Pejabat dan wakil rakyat jangan cari aman sendiri. Sambangi simpul-simpul akar rumput, bangun komunikasi harmonis dan sinergis.

Keempat, bedakan tuntutan dengan tindakan kriminal. Ada kritik sah terkait keselamatan warga atau kebijakan DPR, tapi perusakan fasilitas publik tetap pelanggaran hukum. Aparat harus tegas tapi adil. Tidak boleh manyapu semua orang, tapi masa iya orang merusak fasilitas rakyat dibiarkan begitu saja.


Tasik tidak sedang menghadapi bencana, tapi jelas sedang menghadapi peringatan. Aksi kemarin menunjukkan gabungan antara kemarahan lokal yang nyata dan bahasa simbol global yang bisa memperbesar api. Kota ini hanya bisa tahan banting kalau aparat, pejabat, dan masyarakat sama-sama belajar: de-eskalasi lebih cepat, komunikasi politik lebih hadir, dan penegakan hukum lebih transparan.

Kalau itu bisa dilakukan, ruang gerak bagi mereka yang ingin menunggangi keresahan—baik karena ideologi maupun sekadar oportunis—akan semakin sempit.

Lalu, siapa dalang pembuatan kericuhan? Menjawab pertanyaan seperti ini susah-susah gampang. Susah karena tidak bisa seenaknya menunjuk hidung orang, perlu pendalaman dan fakta-fakta yang valid. Tapi bisa juga dianggap gampang, karena pada dasarnya aksi seperti ini memiliki misi mencari keuntungan. Tinggal renungkan, siapa yang kira-kira diuntungkan dengan aksi kemarin.

Giuliana P. Sesarani

Giuliana Puti Sesarani, S.H. Redaktur Pelaksana Lintas Priangan [lintaspriangan.com]

Related Articles

Back to top button