Berita TasikmalayaTajuk

Rumah Kontrakan Para Pendiri Bangsa: Kompas Moral untuk Wali Kota

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Dalam lembaran sejarah yang tak pernah pudar, kita mengenal kisah para pendiri Republik ini, para pemimpin yang memilih hidup sederhana, menolak kemewahan, dan menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Kisah mereka bukan sekadar cerita heroik, melainkan sebuah kompas moral yang terus memandu bangsa ini.

Para pemimpin itu, yang bahkan tak merasa perlu memiliki rumah pribadi atau fasilitas mewah, meninggalkan warisan yang sangat berharga. Bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin terletak pada pengorbanannya, bukan pada fasilitas yang mereka dapatkan.

Namun kini, sepertinya kita melihat fenomena yang seakan bertolak belakang. Pejabat publik, yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat, tak jarang justru hidup dalam kemewahan yang tak ada habisnya. Rumah dinas yang megah, mobil dinas yang mentereng, fasilitas yang semuanya disediakan oleh uang rakyat, semua itu menjadi pemandangan yang biasa, bahkan dianggap wajar.

Di sinilah, sebuah pertanyaan besar muncul: Apakah para pemimpin saat ini masih memiliki kompas moral yang sama seperti yang ditunjukkan oleh para pendiri bangsa? Apakah kesederhanaan yang dulu menjadi teladan itu masih hidup dalam jiwa mereka?

Haji Agus Salim: Rumah Kontrakan Hingga Akhir Hayat

Haji Agus Salim, seorang diplomat ulung yang dikenal sebagai “diplomat kemelaratan”, adalah contoh nyata bahwa kekayaan sejati tidak diukur dari harta benda. Ia dan keluarganya menghabiskan sebagian besar hidupnya berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya. Bahkan ada sebuah kisah yang sangat menyentuh—istrinya yang terpaksa muntah-muntah karena kondisi jamban yang rusak. Namun, di balik semua itu, Haji Agus Salim tetap teguh pada prinsipnya: mengabdi untuk tanah air dengan hati yang tulus. Ia mengajarkan kita bahwa seorang pemimpin sejati adalah yang mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk rakyat, bukan yang mencari fasilitas dan kemewahan untuk dirinya sendiri.

Soekarno: Presiden Tanpa Rumah Pribadi

Soekarno, Proklamator dan Presiden pertama kita, pernah berkata dalam autobiografinya, “Aku satu-satunya presiden di dunia ini yang tidak punya rumah sendiri.” Ini bukanlah keluhan atau penyesalan, tetapi sebuah pernyataan prinsip yang kuat. Bagi Soekarno, negara sudah memenuhi semua kebutuhannya. Dari mulai kantor yang nyaman, staf yang siaga 24 jam, kendaraan lengkap dengan bahan bakar dan sopir, bahkan seragam dan kebutuhan makan. Ia tidak merasa perlu memiliki rumah pribadi karena baginya, rakyatlah yang menjadi “rumah” yang sesungguhnya.

Soekarno bahkan menolak tawaran rakyat untuk membangunkan rumah pribadi baginya, karena itu bertentangan dengan nilai-nilai yang ia anut. Ia mengajarkan kita bahwa seorang pemimpin bukanlah orang yang mengumpulkan harta, melainkan orang yang memberi tanpa pamrih demi kemajuan bangsanya.

Mohammad Hatta: Sederhana di Tengah Keterbatasan

Begitu pula dengan Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama. Meskipun akhirnya ia memiliki rumah di Jakarta, kehidupan finansialnya tak pernah mudah. Hatta pernah kesulitan membayar tagihan air dan listrik, bahkan renovasi rumahnya harus dibiayai oleh sumbangan masyarakat. Meskipun demikian, Hatta tidak pernah mengubah prinsip hidupnya: kesederhanaan dan kejujuran. Ia menolak memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dan mengutamakan kesejahteraan rakyat di atas segala-galanya. Dari Hatta, kita belajar bahwa untuk menunjukkan integritas, tak perlu dukungan tunjangan dan fasilias kelas atas.

Jenderal Hoegeng: Tidak Mengutamakan Diri

Jenderal Hoegeng Iman Santoso, Kepala Kepolisian Negara yang terkenal dengan integritasnya, juga memilih hidup sederhana. Ia menolak fasilitas dinas yang disediakan oleh negara, memilih tinggal di rumah kontrakan di Menteng. Pilihan ini mempengaruhi keluarganya, yang merasa tidak pernah diberi fasilitas seperti anak pejabat pada umumnya. Namun, Hoegeng tidak pernah menyesali pilihannya. Baginya, menjadi pemimpin bukanlah tentang memiliki segalanya, tetapi tentang memberi teladan yang baik kepada masyarakat, terutama kepada anak-anak bangsa yang melihat pemimpin sebagai panutan.

Sebuah Kompas Moral

Cerita di atas bukan cerita nabi, manusia yang dibekali kadar iman dan bimbingan Tuhan yang jauh di atas standar. Kisah di atas adalah fakta, dari manusia yang sama dengan pejabat hari ini. Mereka lahir di negeri ini, makan dan minum dari air yang mengalir di tanah ini. Seharusnya, potensi mereka juda ada dalam darah daging para pemimpin hari ini.

“Wah itu kan cuma sejarah. Itu jaman dulu.” Mungkin ada pejabat yang kurang sekolah nyinyir demikian. Dia mungkin tidak tahu, koruptor di tanah Nusantara ini bukan baru lahir kemarin. Mereka sudah beranak-pinak sejak zaman Majapahit. Kerajaan-kerajaan besar di tanah Nusantara ini banyak yang hancur gara-gara perilaku korup dan pejabatnya hidup bermewah-mewahan.

Jadi jangan fikir, semua pendiri bangsa ini sepeti H. Agus Salim. Banyak juga yang doyan fasilitas dan kemewahan seperti kebanyakan pejabat hari ini. H. Agus Salim, Soekarno, Hatta dan Hoegeng, adalah contoh tauladan yang berani mengambil pilihan yang berbeda. Bukan berarti mereka tak punya peluang kaya cuma gara-gara Indonesia baru merdeka. Mereka lebih memilih menjadi kompas moral untuk masa depan Indonesia.

Pesan untuk Wali Kota Tasikmalaya

Kami tahu, rumah dinas itu terbengkalai sejak lama. Mangkrak entah karena apa. Hingga kemudian muncul argumen pragmatis: “Sayang kalau tidak diselesaikan. Maka mari kucurkan dana Rp2,6 milyar.”

Mari merenung, Pak Wali. Memangnya yang terbengkalai bertahun-tahun hanya rumah dinas? Yang belum tuntas dan mangkrak cuma urusan bangunan itu? Bukankah urusan sampah pun belum tuntas? Bukankah layanan kesehatan juga masih parah? Titik banjir masih jadi pemandangan di setiap sudut kota. Pengangguran merajalela. Ada banyak anak yang tak nyaman belajar karena rumahnya bocor. Semua itu sama sekali belum tuntas!

Ayo, Pak Wali. Anda masih muda. Wakil Anda juga punya semangat yang kami kira bisa sefaham. Jadilah tauladan-tauladan seperti para pendiri bangsa. Jangan mengalah pada bisikan-bisikan yang sok bijak padahal menjilat!

(dari ruang redaksi Lintas Priangan)

Related Articles

Back to top button