Tajuk

Plt. Kepala Dinas Komunikasi, Tapi Tidak Komunikatif

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Ada sebuah kisah menarik dari Kota Tasikmalaya. Bukan kisah cinta, bukan pula cerita rakyat, melainkan kisah sunyi yang terjadi di sebuah instansi bernama Dinas Komunikasi dan Informatika. Lebih tepatnya: kisah tentang lembaga yang mengurusi komunikasi, tapi pimpinannya tidak komunikatif.

Ceritanya sederhana. Pada Senin, 8 Desember 2025, sekitar pukul 11.00 WIB, redaksi mengirim pesan WhatsApp kepada Plt. Kepala Dinas Kominfo Kota Tasikmalaya. Pesannya sopan. Nadanya formal. Isinya mulia. Redaksi memberikan ruang klarifikasi terkait sejumlah hal penting yang patut diketahui publik. Hal ini dilakukan, sebagai pengejawantahan dari salah satu etika jurnalistik tentang Cover both Side, alias menjaga keberimbangan.

Sayangnya, pesan itu seperti dijejalkan ke dalam botol lalu dihanyutkan ke laut. Hingga pukul 18.30 WIB, tak ada balasan. Hanya tanda centang ganda yang setia menatap layar. Sunyi. Hening. Khidmat. Hampir spiritual.

Padahal, konteksnya bukan hal sepele. Redaksi sedang meminta penjelasan tentang kegiatan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Kominfo. Ada beberapa angka yang terasa tidak biasa, estimasi kebutuhan yang terasa ganjil, serta mekanisme teknis yang terasa butuh lampu tambahan agar lebih terang. Bukan untuk mencari sensasi, tapi untuk mencegah spekulasi. Karena di negeri ini, kalau ruang kosong dibiarkan, ia akan segera diisi prasangka.

Ironinya terasa lengkap. Yang diminta bicara adalah pimpinan dinas yang namanya mengandung kata “komunikasi”. Dalam bayangan publik, pejabat semacam ini hidupnya akrab dengan klarifikasi, pernyataan, dan penjelasan. Tapi realitas kadang senang membuat lelucon, karena ketika diminta bicara, justru dia memilih diam dengan penuh dedikasi.

Redaksi tidak berhenti di satu pintu. Beberapa perusahaan yang biasa bergerak di bidang terkait juga dihubungi. Jawaban mereka menarik, hampir seperti dihafal bersama. Mereka menyebut ada “kebiasaan” berupa cashback atau fee. Bukan gosip warung kopi, tapi pengakuan dari pelaku lapangan. Soal angkanya? Tidak akan disampaikan di sini, tapi satu kalimat cukup jadi alarm: “Nilainya cashback-nya jauh lebih besar dari proyek bangunan atau irigasi.”

Selarik informasi yang diterima redaksi beberapa hari sebelumnya menjadi terasa relevan, ketika salah seorang narasumber berspekulasi tentang “Kenapa kursi Kepala Dinas Kominfo Kota Tasikmalaya sampai hari ini dikosongkan? Bukan mustahil, ini mungkin berkaitan dengan cashback yang biasanya cair di akhir tahun”. Oh… jadi nunggu dulu itu? Ini contoh spekulasi yang jadi liar ketika dinas terkait memilih diam.

Di sinilah keheningan menjadi keras. Diam tak lagi netral. Senyap berubah fungsi menjadi tanda tanya.

Lalu, ada upaya pembelaan dari dalam. Seorang pejabat di Dinas Kominfo Kota Tasikmalaya menyampaikan bahwa mungkin Plt Kepala Dinas sedang sibuk karena memegang dua jabatan. Kita maklumi itu. Multitasking memang berat. Tapi mari kita hitung logikanya: silahkan membuka WhatsApp, mengetik satu kalimat seperti “Mohon waktu, besok kita komunikasikan”, lalu menekan tombol kirim. Estimasi waktu: kurang dari satu menit!

Satu menit itu panjang, bisa nonton sekitar 4 video saat scroll TikTok.

Soal etika, ini menarik. Jabatan Plt bukan posisi hobi. Ada gaji, ada tunjangan tambahan, ada fasilitas negara. Itu bukan bentuk penghargaan atas kesabaran, melainkan kompensasi atas tanggung jawab. Dan salah satu tanggung jawab paling dasar adalah: merespons.

Membisu Bukan Bagian dari Deskripsi Tugas.

Lebih menarik lagi kalau kita lihat logika yang sering dipakai: “lagi sibuk.” Kata ini luar biasa fleksibel. Bisa dipakai dari rapat sampai lupa chat. Tapi sebenarnya, yang terjadi bukan soal sibuk atau tidak sibuk. Ini soal prioritas. Dan di sini tampak jelas, klarifikasi publik belum masuk daftar hal yang dianggap mendesak.

Padahal, ketika pejabat memilih diam, publik justru bekerja lebih keras: mereka menebak, mengira, menafsirkan. Terlebih awak media, yang memang ditempa untuk berhadapan dengan situasi seperti itu. Mereka akan menggali, mengeksporasi, menginvestigasi. Bukan karena mereka ingin, tapi karena tidak diberi pilihan lain.

Dinas Komunikasi mestinya menjadi jembatan. Tapi yang tampak justru seperti ruang tunggu panjang tanpa nomor antrian yang jelas. Warganya datang membawa pertanyaan, dibalas hanya dengan diam, paling ujung-ujungnya direspons dengan kalimat “maaf kemarin sibuk”.

Di akhirnya, kita tidak sedang meminta keajaiban. Tidak perlu konferensi pers megah. Tidak perlu kata-kata berkilau. Publik hanya ingin hal paling dasar: jawaban.

Dan mungkin kita perlu memperbarui satu kalimat lama agar lebih jujur dengan zaman:
bukan “sibuk” yang membuat seseorang sulit merespons, melainkan soal apa yang ia anggap penting. Tapi terserah, itu pilihan setiap orang. Yang pasti, redaksi tidak akan menjadi diam, cuma karena didiamkan.

Karena di era disrupsi informasi seperti hari ini, yang paling berisik terkadang justru berasal dari pilihan untuk diam.

Related Articles

Back to top button