Tajuk

Menakar Peran Pemkot Tasikmalaya di Balik Prestasi Hebat Warganya

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Prestasi gemilang kembali datang dari dunia olahraga Kota Tasikmalaya. Dalam tempo yang hampir bersamaan, dua cabang olahraga berhasil menancapkan nama kota ini di panggung panggung bergengsi. Persikotas FC menjuarai Liga 4 Seri 1 Piala Gubernur Jawa Barat 2025, sementara empat atlet tinju muda Pertina Kota Tasikmalaya membawa pulang satu emas, satu perak, dan dua perunggu pada Kejurnas antarpengcab se-Indonesia di Tangerang. Catatan ini tentu membanggakan. Tapi di balik euforia, ada pertanyaan yang patut digali: seberapa besar sebenarnya peran Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam keberhasilan ini?


Prestasi yang Lahir di Tengah Minimnya Fasilitasi

Untuk Persikotas FC, kemenangan di ajang Liga 4 Seri 1 bukan sekadar trofi baru. Ini adalah pencapaian bersejarah. Tim yang baru promosi tahun ini langsung mampu menjadi juara, sebuah lompatan yang jelas-jelas tidak mudah terjadi. Di level daerah, ini memberikan kebanggaan sekaligus bukti bahwa Kota Tasikmalaya menyimpan bakat-bakat besar di dunia sepakbola.

Namun keberhasilan sebesar ini faktanya tidak lahir dari ruang rapat birokrasi. Persikotas tidak muncul begitu saja dengan segala fasilitas mewah. Banyak pihak tahu bahwa perjalanan klub ini lebih dekat pada kisah kerja keras warga, komunitas, dan para pengurusnya daripada pada keterlibatan intens pemerintah kota. Bahkan lapangan untuk latihan saja, mereka harus bergeser ke tetangga sebelah: Ciamis. Baru setelah juara, pemerintah kota hadir memberi bonus Rp50 juta serta fasilitas gratis UKT kuliah di Universitas Mayasari Bakti bagi para pemain. Apresiasi itu patut dihargai. Toh, lebih baik ada daripada tidak sama sekali. Tetapi tentu, belum cukup untuk menjawab pertanyaan tentang dukungan jangka panjang pemerintah terhadap pembinaan olahraga daerah.

Kisah serupa terlihat pada cabang tinju. Empat atlet Pertina Kota Tasikmalaya sukses mengharumkan nama daerah di Kejurnas, sebuah kompetisi besar dengan 265 atlet dari 65 pengcab dan pengkot se-Indonesia. Satu emas, satu perak, dan dua perunggu bukan prestasi kecil. Ini pencapaian luar biasa yang menegaskan bahwa Tasikmalaya memiliki bibit-bibit atlet kelas nasional.

Namun hingga editorial ini ditulis pada Sabtu (06/12/2025), belum ada informasi mengenai bonus atau apresiasi formal dari Wali Kota terhadap para petinju tersebut. Padahal cabang ini sudah lama berprestasi, sering membawa pulang medali dari berbagai kejuaraan. Ketika atlet menunjukkan dedikasi seperti ini, apresiasi bukan hanya seremonial, melainkan bentuk dukungan moral yang berdampak jangka panjang.


Ketika Prestasi Tak Selaras dengan Pola Dukungan

Pertanyaan tentang peran pemerintah bukan isu baru. Beberapa tahun lalu, seorang kepala daerah di wilayah Priangan Timur pernah mengajak seluruh kepala SKPD-nya ke Pangandaran, untuk membahas ironi pembangunan daerah. Dengan APBD sekitar Rp3 triliun per tahun—di mana separuhnya adalah anggaran pembangunan—target-target besar selama 20 tahun banyak yang tak tercapai. Rp.1,5 triliun anggaran pembangunan/tahun jika dikali 20 tahun itu berarti total Rp30 triliun. Hingga kemudian si Kepala Daerah tersebut melontarkan pernyataan satir namun jujur: “Jangan-jangan akan lebih bermanfaat jika uang Rp30 triliun itu kita bagikan saja ke masyarakat. Toh ketika pemerintah yang mengelola, banyak yang tidak tercapai.”

Satir itu kembali relevan sekarang. Sebab dalam konteks prestasi olahraga Tasikmalaya, justru warga yang menunjukkan capaian nyata. Sepakbola dan tinju berhasil bersinar tanpa sentuhan signifikan dari pemerintah kota. Bonus setelah menang tentu menyenangkan, tapi bukan itu yang disebut dukungan pembangunan. Prestasi membutuhkan fasilitas latihan, program pembinaan, pelatih yang layak, anggaran kompetitif, dan ekosistem berkelanjutan. Jangan bertanya anggarannya dari mana, bukankah semua calon kepala daerah selalu bersuara nyaring saat kampanye, bahwa mereka akan mendongkrak anggara daerah yang terbatas.

Di titik ini, Kota Tasikmalaya terlihat lebih sering muncul sebagai pemberi selamat daripada sebagai pemantik kemajuan. Dan ironinya, masyarakat kota justru berhasil membuktikan bahwa prestasi bisa lahir bahkan ketika dukungan pemerintah minim. Ini seperti menonton seseorang menang lomba maraton tanpa sepatu, lalu panitia baru ingat memberikan sepatu setelah garis finis, setelah kaki si pemenang berdarah-darah.

Namun tentu memberi bonus juga bukan sesuatu yang buruk. Apresiasi bisa menjadi pemantik semangat, stimulan yang mendorong semakin banyak warga berani berkarya. Tetapi jika pemerintah ingin prestasi ini berulang –terlebih berkembang, tidak cukup berhenti pada seremoni pemberian hadiah. Ada pekerjaan rumah besar yang harus dikerjakan, yakni membangun sistem yang membuat atlet Kota Tasikmalaya berkembang bukan karena kebetulan, tetapi karena dukungan terstruktur yang memang dirancang.

Prestasi yang dicapai Persikotas dan para atlet tinju adalah bukti bahwa Kota Tasikmalaya memiliki potensi besar. Karena itu, pertanyaannya kini bukan lagi bisakah Tasikmalaya berprestasi? Pertanyaan sesungguhnya adalah: apakah pemerintah kota siap untuk benar-benar hadir mendukung mereka? (AS)

Related Articles

Back to top button