Media dalam Dua Fakta: Tom Lembong vs Noel

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Penangkapan Thomas Trikasih Lembong dan Immanuel Ebenezer sepertinya menyodorkan cermin yang berbeda. Ini karena media tidak pernah sekadar menceritakan peristiwa, Media juga memilih dari sisi mana sebuah fakta dipotret.
Dalam teori jurnalistik, faktualitas adalah kewajiban. Wartawan haram mengarang, apalagi menambah-nambahi. Tetapi satu fakta tak pernah punya wajah tunggal. Sama seperti rumah, ia bisa tampak anggun bila dipotret dari depan, bisa terlihat semrawut bila disorot dari belakang, atau menakutkan bila kisah atap bocor dan gangguan gaibnya yang ditulis.
Begitu juga dengan kasus Tom Lembong dan Noel. Pada Tom, media seolah berdiri rapat, memberi ruang simpati bahkan advokasi. Judul-judul berita, narasi yang disusun, hingga cara wartawan menanyakan ulang fakta, semua terasa menempatkan Tom bukan sekadar terdakwa, melainkan tokoh yang patut dipahami dan mungkin dibela. Dalam riuh simpati itu, abolisi dari Presiden Prabowo Subianto akhirnya jatuh, dan mustahil mengabaikan bahwa suara media ikut memberi bobot.
Cukup kontras dengan Noel.. Begitu ia ditangkap, media tampak menjaga jarak. Berita-berita muncul dengan nada ajeg, lurus, bahkan kritis. Judul lebih banyak menekankan dugaan, kronologi, dan konsekuensi hukum. Tak ada narasi penghibur, apalagi pembelaan. Seakan media sedang mengingatkan bahwa mereka bukan pengacara, hanya penyampai informasi, meski nada yang dipilih sesungguhnya adalah pilihan sikap hasil rapat redaksi.
Mengapa perbedaan itu muncul? Tidak semata karena politik. Tom memang pernah berdiri di barisan oposisi, dan Noel ada di lingkar pemerintahan. Tetapi bukan garis politik yang menentukan ke mana arah empati media, melainkan jejak panjang yang sudah lama mereka rekam.
Tom dikenal terbuka, tenang, intelektual, jarang terlibat konflik personal. Ia meninggalkan arsip citra yang ramah. Dan ketika badai datang, media punya banyak modal untuk menulisnya dengan empati. Noel berbeda. Gaya bicaranya keras, kerap memicu kontroversi, sikapnya sering menimbulkan resistensi publik. Arsip media menyimpan itu semua. Maka ketika badai tiba, redaksi lebih mudah mengambil posisi kritis ketimbang simpatik.
Di sini terlihat jelas satu hal: empati media bukan hadiah gratis. Ia dibangun dari interaksi sehari-hari, dari sikap yang konsisten, dari bagaimana seorang pejabat memperlakukan ruang publik. Kekuasaan bisa amblas seketika, tetapi rekam jejak tak pernah hilang. Dan ketika rekam jejak itu dipanggil kembali oleh media, ia bisa menjadi selimut empati, atau palu yang mengetuk lebih keras dari hakim di ruang sidang.
Tom Lembong dan Immanuel Ebenezer sama-sama rumah yang disorot lampu media. Tetapi yang satu dipotret dari taman depan yang rapi, yang lain dari atap bocor dan dinding retak. Lalu, ingin seperti apa jejak rekam Anda kami catat?