Tajuk

Keuangan Kota Tasikmalaya di Titik Nadir, Viman–Diky Diuji

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Kemandirian keuangan Kota Tasikmalaya berada di titik paling rapuh dalam lima tahun terakhir. Rekaman angkanya bergerak tak beraturan, tetapi dengan pola yang mudah dibaca: naik sebentar, turun lagi, lalu kembali berada di lorong yang sama, masuk di zona rendah dan rendah sekali.

Pada 2020, Pendapatan Asli Daerah hanya 314 miliar atau 22,8% dari total pendapatan. Setahun berikutnya sempat melompat hingga 445 miliar, setara dengan 29,34%, masih “rendah” dalam klasifikasi kemandirian fiskal. Kemudian grafik itu merosot pada 2022 ke 341 miliar di angka 23%. Pada 2023 ada sedikit penguatan ke 364 miliar (27%), sebelum akhirnya jatuh lagi pada 2024 menjadi 351 miliar, ini setara dengan 24%.

Angka-angka ini menggambarkan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar fluktuasi. Ia menunjukkan persoalan struktural yang tidak kunjung ditangani: ketergantungan Kota Tasikmalaya pada transfer pemerintah pusat. Dalam konteks otonomi daerah, sebuah kota idealnya tumbuh dengan fondasi keuangan yang mampu menopang kebutuhan sendiri. Namun selama lima tahun terakhir, Tasikmalaya lebih sering terhuyung, berjalan pelan, dan kembali tersandung di tempat yang sama.

Di tengah kerentanan itu, ada pertanyaan yang menggelitik. Kira-kira, bagaimana rapor keuangan tahun depan? Entah. Yang pasti, kota ini sebaiknya tidak terlalu larut dalam euforia berbagai anugerah, piagam, dan penghargaan yang tahun ini dipamerkan sebagai simbol kemajuan. Karena dalam kenyataannya, hampir setiap tahun pun kota ini tak pernah kekurangan plakat dan seremoni semacam itu. Penghargaan datang silih-berganti, tetapi grafik keuangan tak pernah ikut naik. Ada jarak yang lebar antara panggung apresiasi dan kondisi fiskal yang harus dihadapi sehari-hari.

Yang membuat situasinya lebih ironis adalah sumber PAD terbesar kota ini. Bukan pajak daerah yang kuat, bukan retribusi strategis, bukan sektor perizinan yang tumbuh sehat. Andalan utama justru datang dari retribusi jasa umum kesehatan. Ya, pendapatan tertinggi kota ini berasal dari warganya yang sakit. Di kota lain, RSUD menjadi lokomotif pelayanan publik dan pusat kompetensi kesehatan. Di Tasikmalaya, ia kebetulan menjadi salah satu sumber pemasukan yang paling signifikan bagi daerah.

Pendapatan yang bertumpu pada penyakit warganya bukan hanya tak etis, tapi juga rapuh. Ketika warga sehat, justru pendapatan menurun. Ketika layanan tersendat, angka PAD ikut melemah. Dan di tengah pola ketergantungan seperti itu, muncul masalah baru: RSUD dr. Soekardjo, sebagai BLUD kesehatan terbesar kota ini, terancam bangkrut!

Rumah sakit itu memikul beban berat akibat utang pemerintah daerah yang tak kunjung dibayar. Pemkot Tasikmalaya dan Pemkab Tasikmalaya bersama-sama menunggak total Rp20 miliar, dana yang sejatinya merupakan pembayaran layanan bagi warga miskin. Tanpa dana tersebut, manajemen rumah sakit kelabakan membeli obat. Dalam satu bulan, kebutuhan obat mencapai dua miliar rupiah. Ini angka yang mustahil dipenuhi jika aliran kas rumah sakit tersumbat. Ancaman pemutusan suplai obat dari perusahaan farmasi sudah mulai terasa. Dalam situasi seperti ini, layanan kesehatan yang mestinya menjadi sandaran publik justru berubah menjadi titik krisis.

Di atas panggung inilah Wali Kota Viman Alfarizi Ramadhan dan Wakil Wali Kota Diky Candra berdiri. Viman, sosok muda yang lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga bisnis besar, sebenarnya membawa ekspektasi logis. Ia hadir di waktu yang sangat tepat. Latar belakang usaha biasanya identik dengan kemampuan mengatur cashflow, membaca peluang dan menata prioritas.

Sementara Diky, dengan karakter kreatif dan energi penuh, juga sangat pas di kondisi ini. Ia tipe berani yang mampu menghadirkan inovasi. Duet ini sebenarnya ideal, untuk realitas yang jauh dari kata ideal.

Namun di luar data fiskal dan kompetensi duet pimpinan, ada hal lain yang berpotensi menjerat. Misalnya, pemerintah daerah tak pernah steril dari dinamika internal seperti manuver orang dekat, bisikan tanpa wajah, penempatan pejabat berdasarkan kedekatan, bukan kompetensi. Dalam suasana yang seperti itu, kerja profesional sering kalah oleh tarik-menarik kepentingan. Indikasi korupsi, sekecil apa pun, bisa menjadi pasir yang menggangu putaran roda. Dan pasir itu telah terlalu lama berserak di lorong-lorong perkantoran.

Jika gangguan-gangguan itu masih bercokol di sekitar duet ini, duet Viman-Diky dengan segala kompetensinya tak akan berpengaruh banyak. Sebab yang sakit bukan hanya RSUD, bukan hanya PAD, bukan hanya grafik kemandirian fiskal, melainkan cara kota ini memutuskan sesuatu.

Tahun 2026 sudah mengintip di tikungan. Kota Tasikmalaya akan memasuki tahun baru dengan beban fiskal yang berat, tugas pelayanan publik yang semakin kompleks, dan ekspektasi warga yang terus tumbuh. Pertanyaannya sederhana : “Apakah pemerintahan Viman–Diky mampu memulai tahun baru dengan keberanian memotong akar masalah?”, atau justru membiarkan kota ini masuk 2026 dengan ritme lama, tetap fluktuatif, rapuh, dan terjebak dalam ironi yang sama.

Dalam sebuah kota, angka memang penting. Tetapi tahun 2026 nanti, publik bukan hanya menunggu grafik yang membaik. Mereka menunggu tanda bahwa pemerintahan ini akhirnya mengambil alih kendali penuh atas arah perjalanannya sendiri. Jika tidak, titik nadir yang hari ini terlihat mungkin bukan yang terakhir, dan bukan yang terparah. Na’udzubillah!

Related Articles

Back to top button