Tajuk

Kasus Kominfo Sleman Harus Jadi Perhatian Semua Daerah

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Kasus penetapan mantan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Sleman berinisial ESP sebagai tersangka pengadaan internet semestinya tidak diperlakukan sebagai peristiwa hukum biasa. Ia adalah cermin. Lebih tepatnya, alarm yang bunyinya seharusnya terdengar sampai ke ruang-ruang kerja Diskominfo di seluruh Indonesia.

Awal perkara ini bukan berasal dari transaksi yang rumit atau skema keuangan tingkat tinggi, melainkan dari sesuatu yang sangat mendasar: tidak adanya kajian sebagai dasar penganggaran. Penambahan penyedia layanan internet (Internet Service Provider/ISP) pada 2022 disebut dilakukan tanpa kajian kebutuhan yang layak, tanpa analisis teknis yang terukur, dan tanpa pertimbangan ekonomi yang memadai.

Dalam dunia pengadaan barang dan jasa pemerintah, ketiadaan kajian bukan kesalahan kecil. Di titik itulah seluruh logika anggaran seharusnya disusun. Jika fondasi ini hilang, maka seluruh bangunan keputusan di atasnya rawan roboh. Kasus Sleman menunjukkan bagaimana satu lubang kecil di tahap perencanaan bisa membuka jalan bagi persoalan yang jauh lebih besar.

Yang membuat perkara ini semakin relevan secara nasional adalah konteksnya. Belanja layanan internet bukan pos kecil dalam anggaran Diskominfo. Di banyak daerah, justru inilah salah satu kegiatan pengadaan yang paling rutin dan paling besar menyedot anggaran.

Belanja Internet dan “Lahan Basah” di Daerah

Di wilayah Priangan Timur, kecenderungan ini terlihat jelas. Terutama di daerah yang menggelontorkan anggaran tersebut relatif besar, seperti Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Sumedang. Apalagi, anggaran ini sudah berjalan beberapa tahun.

Narasinya selalu terdengar rapi: demi layanan publik digital, demi konektivitas antarkantor, demi transformasi pemerintahan elektronik. Namun sering kali, yang luput dari perhatian adalah hal paling mendasar: apakah semua itu ditopang kajian kebutuhan yang sungguh-sungguh?

Banyak keputusan penambahan bandwidth lahir bukan dari audit trafik, bukan dari pemetaan beban jaringan, melainkan dari kebiasaan tahunan. Polanya sederhana: tahun lalu sekian, tahun ini dinaikkan. Sedikit orang bertanya apakah kenaikan itu rasional atau hanya mengikuti arus.

Kasus Sleman menegaskan satu pelajaran penting: saat kajian tidak dibuat, seluruh proses selanjutnya menjadi rapuh. Dan kerentanan itu bukan hanya soal prosedur, tapi juga soal etika dan potensi konflik kepentingan.

Tiga Peringatan yang Tak Bisa Diabaikan

Ada setidaknya tiga peringatan yang patut dicatat oleh seluruh Kominfo di daerah.

Pertama, jangan pernah berasumsi bahwa urusan jaringan hanya dipahami oleh orang-orang dalam dinas. Di luar struktur birokrasi, ada banyak pihak yang paham detail dunia ini: praktisi IT, teknisi lapangan, mantan vendor, komunitas jaringan, hingga warga yang terbiasa membaca spesifikasi teknis. Mereka mampu menghitung kebutuhan bandwidth, membaca topologi jaringan, dan mencium pola belanja yang tak masuk akal. Jaringan bukan wilayah gelap yang hanya dimengerti segelintir orang.

Kedua, jangan menganggap relasi dengan penyedia layanan internet mustahil bocor. Di industri ini, cerita soal cashback, fee, atau “kompensasi non-kontraktual” bukan dongeng. Ia hidup sebagai rahasia umum. Dan seperti banyak rahasia umum dalam sejarah pengadaan, yang semula hanya bisik-bisik, sering kali berakhir menjadi materi pemeriksaan. Jejak komunikasi, pola kerja sama, hingga relasi personal bukan hal yang sulit ditelusuri ketika proses hukum mulai berjalan.

Dan ketiga—yang sering diabaikan—jangan pernah berpikir seluruh orang di dalam satu instansi selalu sejalan dan pandai menyimpan rahasia. Tidak semua pegawai nyaman dengan kejanggalan. Tidak semua staf siap terus berpura-pura tak melihat. Ada yang diam menyimpan dokumen, ada yang mengingat percakapan, ada yang hanya menunggu waktu.

Di banyak kantor, dinamika internal jauh lebih kompleks dari bagan struktur. Ada jabatan yang tiba-tiba “disalip” rekan kerja bukan karena prestasi teknis, melainkan karena kedekatan dengan lingkar kekuasaan. Ada kewenangan yang perlahan terpinggirkan karena tidak berada di orbit relasi yang tepat. Situasi semacam itu melahirkan sesuatu yang berbahaya bagi skema yang tak bersih: rasa kecewa yang pelan-pelan berubah menjadi keberanian untuk bicara.

Kasus Sleman seharusnya menjadi pelajaran bersama. Bukan soal siapa yang jatuh, melainkan soal bagaimana satu kajian yang tak pernah dibuat bisa menjadi awal runtuhnya banyak lapisan.

Pesannya sederhana:
jangan kira sunyi berarti aman.
Dalam pengadaan publik, yang disembunyikan hari ini, sering kali hanya menunggu waktu untuk terbuka esok hari.

Related Articles

Back to top button