Kasus Pupuk Tasikmalaya: Kuasa Hukum Kritik Kejari soal Transparansi & Bukti

lintaspriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Ketegangan antara aparat penegak hukum dan pihak pembela semakin terasa dalam kasus Pupuk Tasikmalaya. Kuasa hukum tersangka mensinyalir Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Tasikmalaya bertindak tidak transparan dan menyusun klaim yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Mereka menilai penyidik terlalu cepat mengambil kesimpulan tanpa menunjukkan bukti konkret.
Kejari sebelumnya menetapkan tiga tersangka berinisial EN, ES, dan AH. Ketiganya dituduh menyelewengkan pupuk bersubsidi pada periode 2021–2024. Namun, pihak pembela menilai penyidik salah langkah karena mengaitkan kasus ini dengan perkara lama yang sudah memiliki putusan tetap.
Kuasa Hukum: “Kasus Lama Sudah Selesai”
Kuasa hukum EN, Junaedi Yahya, menilai penyidik Kejari mengulang kasus lama yang sudah tuntas. Ia menegaskan bahwa langkah tersebut melanggar asas nebis in idem, yaitu larangan mengadili seseorang dua kali atas kasus yang sama.
“Kasus pengoplosan pupuk di Banjar tahun 2023 sudah selesai, dan para pelaku sudah menjalani hukuman. Sekarang muncul lagi kasus dengan substansi serupa di Tasikmalaya. Itu jelas menyalahi asas hukum,” tegas Junaedi, Senin (6/10/2025).
Selain itu, Junaedi menjelaskan bahwa kliennya baru mengambil alih CV MMS pada Agustus 2024 setelah membeli perusahaan tersebut dari pemilik lama berinisial YD. Karena itu, menurutnya, tudingan terhadap EN untuk periode 2021–2023 tidak masuk akal.
“EN baru menjadi pemilik perusahaan pada 2024. Jadi, bagaimana mungkin dia terlibat dalam aktivitas sebelumnya?” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai penyidik seharusnya memeriksa dokumen kepemilikan terlebih dahulu sebelum menetapkan tersangka. Menurutnya, penyidik terlalu tergesa-gesa dan mengabaikan asas kehati-hatian. Akibatnya, proses hukum yang berjalan kini justru menimbulkan banyak pertanyaan.
Soroti Klaim Penyitaan dan Dugaan Pelanggaran Prosedur
Tidak hanya soal substansi kasus, Junaedi juga menggugat klaim Kejari yang menyebut telah menyita 7.800 ton pupuk bersubsidi dalam kasus Pupuk Tasikmalaya. Menurutnya, klaim itu sulit dipercaya karena kapasitas gudang penyangga di kabupaten hanya sekitar 4.000 ton.
“Itu klaim yang berlebihan. Tidak ada satu karung pupuk pun yang mereka tunjukkan. Kalau benar ada 7.800 ton pupuk, seharusnya Kejari bisa menunjukkan bukti fisiknya,” kata Junaedi dengan nada tegas.
Ia menambahkan bahwa penyidik juga melakukan penyitaan satu unit truk tronton secara tidak sah. Surat penyitaan bertanggal 3 Juli 2025 atas nama Rahmat Hidayat tidak memuat tanda tangan pejabat berwenang. “Surat itu cacat prosedur karena tidak ditandatangani Kasi Pidsus. Prosedurnya sudah jelas dilanggar,” katanya.
Selain itu, Junaedi menilai barang bukti tersebut tidak relevan dengan peristiwa hukum di Kecamatan Ciawi. “Kalau truk itu benar-benar berkaitan, seharusnya penyidik melakukan OTT di lokasi kejadian, bukan setelahnya,” tambahnya.
Desak Kejari Bertindak Profesional dan Terbuka
Lebih jauh, Junaedi meminta Kejari Tasikmalaya bertindak profesional serta membuka semua data kepada publik. Ia menilai lembaga penegak hukum harus mengedepankan kejujuran, transparansi, dan bukti nyata.
“Hukum harus berpihak pada kebenaran, bukan pada asumsi. Jika aparat bekerja tanpa dasar kuat, masyarakat akan kehilangan kepercayaan,” ujarnya.
Selain itu, Junaedi juga mengajak masyarakat ikut mengawasi jalannya proses hukum. Menurutnya, pengawasan publik dapat mencegah penyalahgunaan kewenangan. “Transparansi bukan pilihan, tapi kewajiban. Kejari harus berani membuka fakta sebenarnya agar publik tidak menilai negatif,” tegasnya.
Dengan meningkatnya perhatian publik, kasus Pupuk Tasikmalaya kini menjadi sorotan di daerah. Banyak pihak menunggu langkah Kejari selanjutnya untuk membuktikan apakah penyidikan berjalan secara adil dan profesional, atau justru menguatkan dugaan adanya kesalahan prosedur. (NID)