Berita Tasikmalaya

Kader Gerindra Kota Tasikmalaya Tolak Budi Arie Karena 4 Alasan Ini

lintaspriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Penolakan terhadap rencana bergabungnya Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, bersama para relawannya ke Partai Gerindra, kini juga disuarakan dari Kota Tasikmalaya. Sebagai kader Partai Gerindra, H. Aslim, S.H., M.Si., menegaskan bahwa sikap penolakan tersebut bukan didasari faktor emosional atau sentimen pribadi, melainkan berlandaskan empat alasan pokok, yakni alasan struktural, kultural, ideologis, dan moral-politik.

Saat ditemui wartawan Lintas Priangan, Rabu (12/11/2025), Aslim menjelaskan bahwa Gerindra adalah partai kader yang dibangun di atas nilai perjuangan, bukan kepentingan sesaat. Karena itu, setiap langkah politik harus dijaga agar tidak menggerus marwah dan jati diri partai.

“Gerindra ini berdiri di atas fondasi perjuangan. Kalau fondasinya goyah, nilai-nilai yang kita junjung bisa ikut runtuh,” ujarnya.

Menurut Aslim, alasan pertama adalah struktural. Gerindra memiliki sistem kelembagaan dan mekanisme kaderisasi yang kuat. Setiap kader dibentuk melalui proses pembinaan dan pelatihan politik berjenjang. Masuknya kelompok eksternal tanpa mengikuti mekanisme itu, kata dia, berpotensi mengganggu keseimbangan internal partai.

“Gerindra punya sistem sendiri. Tidak bisa tiba-tiba ada kelompok besar masuk tanpa melalui proses. Itu bisa menimbulkan ketidakteraturan dalam struktur partai,” terangnya.

Alasan kedua, lanjut Aslim, bersifat kultural. Ia menilai ada perbedaan karakter dan kultur politik antara kader Gerindra dengan kelompok relawan seperti Projo. Budaya kader Gerindra dibangun atas dasar disiplin, loyalitas, dan kesetiaan terhadap garis perjuangan partai.

“Budaya di Gerindra itu militan dan hierarkis. Kita tunduk pada proses dan struktur. Kalau orang yang tidak melewati proses itu tiba-tiba bergabung, kultur perjuangan kita bisa tercampur,” tuturnya.

Selanjutnya, a lasan ketiga adalah ideologis. Aslim menegaskan bahwa Gerindra berdiri di atas nilai nasionalisme, kerakyatan, dan kemandirian politik. Nilai-nilai ini tidak boleh dikompromikan oleh kalkulasi pragmatis jangka pendek. Ia memandang perubahan arah politik Budi Arie dan relawan Projo pasca Pilpres 2024 menunjukkan ketidakkonsistenan ideologis.

“Gerindra punya garis perjuangan yang jelas sejak awal. Kalau setiap perubahan politik membuat kita menerima siapa pun yang datang, ideologi partai bisa kehilangan arah,” katanya.

Terakhir, alasan keempat adalah moral-politik . Bagi Aslim, loyalitas merupakan ukuran utama dalam politik perjuangan. Ia menilai sikap mudah berpindah haluan demi posisi kekuasaan mencerminkan krisis moral dalam politik modern.

“Politik bukan soal ikut siapa yang menang, tapi soal tetap tegak di tempat yang benar meski kalah. Kalau orang datang hanya saat kemenangan, berarti politiknya sudah kehilangan moral,” tegasnya.

Aslim menegaskan, meskipun keputusan akhir berada di tangan DPP Gerindra, suara kader di daerah tetap penting untuk menjaga integritas partai. Ia berharap agar setiap langkah politik tetap berpijak pada nilai perjuangan, bukan kepentingan sesaat.

“Kami hanya ingin menjaga agar Gerindra tetap jadi rumah perjuangan, bukan rumah singgah bagi pencari keuntungan. Partai ini lahir dari pengorbanan dan keyakinan, bukan dari perhitungan pragmatis,” ujarnya menutup perbincangan.

Dengan empat alasan tersebut, penolakan terhadap rencana bergabungnya Budi Arie dan relawan Projo mencerminkan sikap kader daerah yang ingin menjaga Gerindra tetap konsisten sebagai partai kader, berideologi kuat, dan beretika dalam perjuangan politik. (GPS)

Giuliana P. Sesarani

Giuliana Puti Sesarani, S.H. Redaktur Pelaksana Lintas Priangan [lintaspriangan.com]

Related Articles

Back to top button