Kekerasan Debt Collector: Posisikan Indonesia Darurat Kejahatan Kedua se-ASEAN

lintaspriangan.com, BERITA NASIONAL. Fenomena kekerasan oleh debt collector fintech atau pinjaman online (pinjol) kini mencapai titik darurat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat 3.858 pengaduan resmi pada Juni 2025, mencakup intimidasi verbal, penyebaran data pribadi, hingga kekerasan fisik. Angka ini memperlihatkan jurang besar antara aturan penagihan yang berlaku dan praktik brutal di lapangan.
Lonjakan Kasus, Nyawa Melayang
Krisis ini bukan sekadar soal penagihan. Beberapa kasus telah berujung pada tindak pidana serius, termasuk penculikan dan pembunuhan seorang Kepala Cabang Bank BUMN di Jakarta oleh sekelompok debt collector. Kasus lain yang menyeruak adalah penganiayaan terhadap pekerja pabrik akibat penagihan brutal. Fakta-fakta tersebut menegaskan bahwa praktik debt collector bukan lagi sekadar intimidasi, melainkan ancaman nyata bagi keamanan publik.
Analisis Ahli: Tekanan Target Jadi Pemicu Kekerasan
Kriminolog Prof. Dr. Adrianus Meliala menyebut fenomena ini sebagai masalah struktural. Tekanan perusahaan untuk mencapai target membuat debt collector cenderung menggunakan cara-cara melanggar hukum. Psikolog klinis Fitri Fausiah menambahkan, teror dari pinjol bisa mendorong korban ke titik putus asa hingga muncul keinginan mengakhiri hidup.
Sementara itu, LBH Jakarta menegaskan banyak korban telah mengadukan praktik penagihan tidak manusiawi. Menurut pengacara publik Jeanny Silvia Sari Sirati, debt collector melakukan intimidasi karena didorong target perusahaan, bukan sekadar inisiatif pribadi.
Hak Konsumen: Dilindungi Hukum, Bukan Sekadar Janji
OJK sudah menetapkan aturan ketat yang melindungi peminjam. Konsumen berhak:
- Terbebas dari intimidasi fisik maupun verbal.
- Penagihan hanya antara pukul 08.00–20.00 sesuai ketentuan.
- Privasi data pribadi terjamin, tidak boleh disebar ke pihak lain.
- Penagihan hanya ke debitur, bukan ke keluarga atau kontak darurat.
Bila aturan ini dilanggar, debt collector dan lembaga pinjol bisa dijerat pidana. Mulai dari Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dengan ancaman 9 tahun penjara, hingga UU ITE Pasal 32 jo Pasal 48 yang memuat ancaman hukuman 1–4 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar.
Akar Masalah: Ketimpangan Sosial dan Ekonomi
Menurut GoodStats (April 2025), Indonesia menempati posisi kedua di ASEAN dengan skor kriminalitas tertinggi. Ketimpangan sosial-ekonomi menjadi pemicu utama. Data BPS menunjukkan wilayah timur Indonesia, seperti Papua dan NTT, masih menghadapi rendahnya kualitas pendidikan, kemiskinan, serta angka kriminalitas tinggi. Kondisi ini membuat masyarakat lebih rentan terjebak utang atau bahkan terlibat dalam praktik penagihan ilegal.
Seruan Reformasi dan Perlindungan Konsumen
DPR menuntut pemerintah segera melakukan penertiban, termasuk menindak kelompok preman berkedok debt collector. Edukasi literasi keuangan, perlindungan psikologis, serta regulasi yang lebih tegas harus menjadi prioritas.
Ketua Yayasan Pro Publika, Ibnu Haykal, menegaskan:
“Indonesia membutuhkan pendekatan multisektoral untuk membangun ekosistem pinjaman yang sehat, adil, dan melindungi martabat setiap warganya. Tanpa itu, praktik kekerasan ini akan terus berulang.” (Lintas Priangan/AA)