Tajuk

Smoke Screen Strategy dalam Berita Trans7 dan Kenaikan Anggaran Reses DPR RI

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Dalam dinamika politik dan media Indonesia, perhatian publik sering kali bergerak seperti ayunan pendulum, dari satu isu ke isu lain yang lebih ramai diperbincangkan. Fenomena ini kembali terlihat pertengahan Oktober 2025, ketika kemarahan besar publik tertuju pada tayangan Trans7 yang dianggap menyinggung dunia pesantren. Di saat yang sama, ada peristiwa lain yang tak kalah penting namun nyaris luput dari perhatian: kenaikan drastis anggaran reses anggota DPR RI.

Publik Marah, Media Penuh Isu Pesantren

Pada 13 Oktober 2025, Trans7 menayangkan program “Xpose Uncensored” yang menampilkan segmen kontroversial. Tayangan itu dianggap menyinggung pesantren Lirboyo di Kediri dan memicu kemarahan luas dari kalangan santri, alumni pesantren, dan khususnya warga Nahdlatul Ulama.

Reaksi publik berlangsung cepat. Seruan boikot terhadap Trans7 menggema di media sosial, sementara ratusan santri dan alumni menggelar aksi damai di Kediri, menuntut permintaan maaf langsung kepada para kiai Lirboyo. Trans7 akhirnya merilis permintaan maaf resmi pada 14 Oktober dan melakukan klarifikasi ke pesantren sehari setelahnya.

Namun, di tengah hiruk-pikuk kemarahan publik ini, ada kebijakan lain yang berjalan “senyap”. Kenaikan dana reses DPR RI diumumkan dalam waktu hampir bersamaan, dan hampir tidak dibahas publik maupun media secara luas.

Anggaran Naik Hampir Dua Kali Lipat

Data dari Kompas.com menunjukkan bahwa pada 11 Oktober 2025, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengonfirmasi adanya kenaikan dana reses anggota DPR dari sekitar Rp400 juta menjadi Rp702 juta per orang. Ia menyebut kenaikan itu terjadi karena “penyesuaian indeks kegiatan dan penambahan titik kunjungan ke daerah pemilihan”. (Kompas.com, 11 Oktober 2025)

Dengan 580 anggota DPR, total tambahan beban negara mencapai triliunan rupiah. Di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang membuat banyak lembaga di negeri ini harus puasa Senin-Kamis, apa kenaikan ini pantas? Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia) menilai kenaikan ini sebagai bentuk “bonus tanpa kerja yang pantas diapresiasi”, karena tidak diikuti dengan peningkatan kinerja legislasi maupun fungsi pengawasan yang signifikan. Kritik tersebut muncul di berbagai media, termasuk Republika dan TVOne News.

Menariknya, di saat media nasional dipenuhi pemberitaan soal kontroversi Trans7, media internasional seperti Reuters dan BBC justru menayangkan berita kenaikan anggaran reses DPR RI.

Pola Lama yang Masih Laku

Fenomena ini seolah mengulang pola lama yang dikenal dalam dunia komunikasi politik sebagai smoke screen strategy — strategi pengalihan perhatian publik.
Istilah ini menggambarkan situasi ketika isu emosional atau sensasional dimunculkan atau dibiarkan berkembang untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari agenda yang lebih substansial.

Dalam konteks komunikasi politik, strategi ini kerap dikaitkan dengan teori distraction atau manufacturing consent yang dibahas oleh linguist dan aktivis asal Amerika Serikat, Noam Chomsky. Dalam pandangannya, media sering berperan sebagai alat pembentuk opini publik yang diarahkan untuk melindungi kepentingan kelompok elit. Salah satu caranya adalah dengan menonjolkan isu-isu yang menarik emosi, sehingga perhatian publik terserap dan berkurang terhadap isu yang sebenarnya lebih penting.

Strategi pengalihan ini juga digambarkan secara kuat dalam film satir politik “Wag the Dog” (1997), yang menceritakan bagaimana pemerintah Amerika menciptakan perang fiktif untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari skandal seksual presiden. Film ini kemudian menjadi rujukan klasik dalam analisis komunikasi politik modern, sebagai simbol bahwa dalam politik, persepsi bisa lebih kuat daripada fakta.

Dalam konteks Indonesia, kemarahan terhadap Trans7 yang menyentuh sensitivitas keagamaan menjadi “tirai asap” yang menutupi kebijakan kenaikan anggaran reses DPR RI. Tidak ada bukti langsung bahwa kedua peristiwa ini dirancang untuk saling menutupi, namun secara komunikasi politik, efeknya serupa. Publik terserap pada satu isu yang ramai di media sosial, sementara isu keuangan negara kehilangan sorotan.

Bukan Pertama Kali Terjadi

Pengalihan isu seperti ini bukan barang baru di Indonesia. Pada 2022, publik dihadapkan pada dua kasus besar yang muncul hampir bersamaan: kasus pembunuhan yang melibatkan Ferdy Sambo dan kemunculan peretas Bjorka. Ketika perhatian publik pecah pada kasus peretasan data, tekanan terhadap penuntasan kasus Sambo sempat mereda. Kasus Sambo yang diyakini banyak melibatkan “orang penting” di negeri ini juga diselimuti oleh banyak berita sensasional lainnya. Misal, pernyataan Effendi Simbolon yang meyinggung TNI ketika itu.

Contoh lain muncul saat kasus mega korupsi tambang timah senilai Rp271 triliun mencuat awal 2024. Di tengah proses hukum yang sedang berjalan, media nasional justru dikuasai oleh pemberitaan kasus “Vina Cirebon” yang penuh sensasi. Akibatnya, kasus korupsi yang lebih besar secara ekonomi kehilangan momentum liputan mendalam.

Pola ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media dalam menggeser fokus publik, dari isu yang mempengaruhi kehidupan nyata ke isu yang memancing emosi sesaat.

Belajar Menyaring Isu

Dua peristiwa pada Oktober 2025, yakni kemarahan terhadap Trans7 dan kenaikan dana reses DPR, memberikan pelajaran penting bagi publik dan media. Publik perlu lebih kritis dan jernih dalam memandang isu yang ramai diperbincangkan, karena tidak semua yang viral memiliki bobot substantif bagi kepentingan masyarakat luas.

Sementara itu, lembaga publik, termasuk DPR, seharusnya tidak menggunakan momentum isu lain untuk meloloskan kebijakan yang menyangkut uang rakyat. Transparansi dan akuntabilitas tetap menjadi ukuran utama kepercayaan publik.

Dalam era digital di mana informasi berlimpah dan perhatian publik mudah digiring, kemampuan masyarakat untuk memilah mana isu emosional dan mana isu esensial menjadi sangat penting. Sebab, demokrasi yang sehat tidak hanya ditandai oleh kebebasan berbicara, tetapi juga oleh kecerdasan publik dalam membaca arah isu.

Akhirnya…

“Smoke screen strategy” bukan teori kosong, melainkan kenyataan yang kerap berulang di panggung politik dan media. Ketika publik terlalu sibuk marah terhadap satu hal, sering kali ada hal lain yang bergerak diam-diam di belakang layar.
Kemarahan terhadap Trans7 bisa jadi sah dan wajar, tetapi di saat yang sama, publik juga berhak menanyakan: kenapa dana reses DPR naik begitu besar tanpa penjelasan yang transparan, dan terjadi di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang ketat?

Menjaga keseimbangan perhatian antara isu sensasi dan isu substansi mungkin menjadi tantangan utama publik modern, agar tidak terus-menerus terjebak dalam kabut smoke screen yang menutupi apa yang seharusnya lebih penting bagi rakyat.

Di akhir editorial ini, redaksi Lintas Priangan ingin menyuguhkan satu pertanyaan sederhana:
“Apakah mungkin media sekelas Trans7 tidak bisa menakar dampak dari tayangan berita kemarin?”

Related Articles

Back to top button