Memutus Rantai Kemiskinan dengan Pisau Vasektomi

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Beberapa waktu lalu, pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sempat menggemparkan jagat maya. Ia mengusulkan agar laki-laki miskin penerima bantuan sosial harus divasektomi agar tidak terus-menerus “memproduksi” anak dan memperparah lingkaran kemiskinan. Sebuah pernyataan yang mengandung semangat pengendalian penduduk, tapi terasa seperti menabuh genderang perang terhadap kemiskinan dengan cara mengebiri kebebasan reproduksi.

Bayangkan, kemiskinan dijadikan seperti virus yang harus diputus mata rantainya dengan pisau bedah. Padahal, jika kemiskinan memang bisa diselesaikan dengan membatasi anak, maka pertanyaan besar muncul: mengapa negara-negara dengan angka kelahiran rendah seperti Jepang dan Korea Selatan justru sedang panik karena defisit penduduk, bukan surplus kemiskinan?

Mari kita tarik napas sejenak dan menatap realitas: kemiskinan bukanlah pilihan. Tidak ada anak kecil yang bermimpi tumbuh besar untuk menjadi miskin. Sama halnya, tidak ada pasangan suami-istri yang bercinta sambil berkata, “Ayo, kita tambah beban hidup.” Narasi bahwa orang miskin harus dilarang punya anak adalah bentuk dari simplifikasi ekstrem terhadap masalah struktural yang jauh lebih kompleks.

Menurut data BPS, memang ada kecenderungan rumah tangga miskin memiliki lebih banyak anak. Tapi korelasi bukanlah sebab-akibat. Banyak anak bukan penyebab utama kemiskinan, melainkan konsekuensi dari rendahnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan informasi keluarga berencana. Kalau mau jujur, negara punya utang panjang soal pemerataan pembangunan. Di banyak desa, akses kontrasepsi lebih sulit didapat daripada mie instan.

Kita bisa bercermin pada negara-negara Skandinavia. Di sana, orang bisa punya tiga atau empat anak tanpa harus ketakutan anaknya putus sekolah. Kenapa? Karena negara hadir sebagai sistem pendukung yang konkret, bukan sekadar komentator moralitas, yang orientasinya sekedar ingin viral, tanpa menyelesaikan masalah substansial.

Menganggap orang miskin seharusnya tidak punya anak seperti menyalahkan termometer atas demam. Salah arah. Di balik satu keluarga miskin, ada tumpukan masalah: upah murah, pendidikan mahal, lahan sempit, pekerjaan langka. Menyuruh mereka tidak punya anak ibarat menyuruh orang tenggelam untuk tidak banyak bergerak, karena dianggap menyulitkan proses penyelamatan.

Alih-alih membahas vasektomi massal, kenapa tidak membahas redistribusi kekayaan? Pajak progresif? Pendidikan gratis dan berkualitas? Ketersediaan lapangan kerja yang layak?

Coba kita bermain sedikit imajinasi. Katakanlah orang tua Elon Musk lahir dari keluarga miskin di Purwakarta. Apakah dengan kebijakan ini, Elon Musk tidak perlu lahir dan menjadi manusia terkaya di dunia? Atau lebih ekstrem: apakah dunia tidak akan mengenalnya karena ia dicegah untuk lahir?

Kebijakan seperti ini, bila diterapkan secara kaku, justru mengingkari potensi manusia. Potensi tidak punya kelas ekonomi. Anak tukang becak bisa jadi ilmuwan. Anak petani bisa jadi jenderal. Anak nelayan bisa jadi dokter. Bahkan anak gak jelas bisa saja jadi presiden. Tapi semua itu hanya bisa terjadi jika sistem mendukungnya.

Menyalahkan orang miskin karena punya anak ibarat menyalahkan korban banjir karena tidak bisa berenang. Padahal yang seharusnya dipertanyakan adalah: di mana sistem drainasenya?

Kita boleh bercanda, tapi kemiskinan bukan lelucon. Menghadapinya perlu empati, bukan sinisme. Kalau benar-benar mau memutus rantai kemiskinan, kita butuh lebih banyak sekolah, bukan pisau vasektomi! (Lintas Priangan)

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More