Tajuk

12 Hari ke Depan, Mungkin Jadi Kuburan untuk Kuliner Lokal Tasikmalaya

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Selama 12 hari ke depan, tepatnya 12 sampai 23 November 2025, Kota Tasikmalaya akan menjadi lokasi gelaran Road Show Event Kuliner Viral Terbesar se-Indonesia. Lokasinya di Asia Plaza, dibuka dari pukul 10 pagi sampai 10 malam. Sekilas, ini terdengar meriah. Kota kita tampak “naik panggung” dalam peta wisata kuliner nasional. Namun, di balik kerlap-kerlip lampu dekorasi dan gegap gempita musik panggung, ada satu hal yang tidak boleh luput dari perhatian: nasib kuliner lokal Tasikmalaya.

Sebab menurut publikasi yang beredar, menu unggulan Roadshow Kuliner Viral ini bukanlah makanan khas daerah, melainkan deretan jajanan luar negeri yang sedang viral: dari Korea, Thailand, Jepang, sampai varian menu yang sekilas namanya saja sudah beraroma “sudah pernah trending di TikTok”. Setidaknya 200 pengusaha kuliner kelas nasional, dengan 1000 menu unggulan, siap memanjakan lidah warga Tasikmalaya dan sekitarnya. Roadshow ini pun bukan pertama kali. Sebelumnya telah mampir ke lebih dari 22 kota besar, dari Bandung sampai Manado dan Bali.

Tentu saja, sebagian warga akan merasa penasaran. Sebagian lainnya mungkin sudah pernah mencobanya di kesempatan lain. Tapi tetap saja, antusiasme publik memiliki daya yang kuat. Di titik ini, persoalan menjadi nyata: seblak, tutug oncom, cilok goang, ratusan pedagang bakso, mie kocok, nasi cikur, hingga kedai kopi kecil di setiap ruas jalan Kota Tasikmalaya harus bersiap menghadapi potensi penurunan pendapatan.

Ini bukan sekadar drama rasa atau preferensi lidah. Ini soal perputaran uang, soal siapa yang bertahan dan siapa yang harus menutup pintu kedai lebih cepat.


Persaingan yang Tidak Seimbang

Satu sisi, kita tidak boleh anti terhadap kehadiran kuliner mancanegara. Dunia ini saling terhubung, dan lidah manusia penuh rasa ingin tahu. Tetapi sisi lainnya, kita juga perlu jujur: kompetisi ini tidak adil sejak awal.

UMKM kuliner lokal Tasikmalaya rata-rata berdiri dari dapur kecil, modal pas-pasan, bumbu resep warisan, dan harapan yang dicampur keringat harian. Sedangkan event besar mendatangkan brand yang sudah matang strategi marketingnya, punya tim khusus visual, punya pengetahuan tren digital, dan tentu punya daya pikat “karena viral” plus kekuatan kapital.

Seorang teman pemilik kafe di Jalan Yudanegara bercerita dengan gelisah. Tanpa event besar pun, musim hujan saja sudah menurunkan jumlah pelanggan. Sekarang, dengan hadirnya festival kuliner viral, ia sudah meraba-raba kondisi keuangan sambil membayangkan kursi kosong di kafenya. “Kalau sehari sepi, masih kuat. Kalau dua belas hari? Itu sudah beda cerita,” katanya. Suaranya pelan, tapi rasanya berat.

Dan memang benar. Bagi kelas ekonomi yang hidupnya nyaman, 12 hari itu mungkin terasa singkat. Tetapi bagi para pelaku usaha kuliner beromset harian, 12 hari bisa terasa seperti kemarau yang memperpanjang kredit, tagihan listrik, dan harga bahan baku yang tidak pernah mau turun. 12 hari “kalah” benar-benar bisa jadi kuburan untuk mereka.


Mendukung yang Dekat, Bukan Mengagungkan yang Viral

Pertanyaan yang seharusnya kita ajukan adalah: dalam kompetisi global ini, di mana keberpihakan kita?
Apakah pemerintah kota, para pengelola pusat perbelanjaan, dan komunitas ekonomi lokal memikirkan strategi perlindungan terhadap kuliner lokal?

Atau kita justru sedang menonton perlahan bagaimana makanan yang tumbuh dari tanah sendiri, resep yang lahir dari ruang dapur nenek kita, dan kisah pedagang kecil yang bertahan dari masa ke masa, digantikan oleh makanan “yang cantik di kamera tapi tidak menyentuh akar budaya apa-apa”?

Tidak ada yang salah dengan mencicipi makanan baru. Tapi akan ada yang sangat salah bila kita lupa merawat rasa rumah sendiri. Ada yang salah ketika otoritas di kota ini tidak peka terhadap potensi yang mengancam kuliner Tasikmalaya. Ada yang salah saat mereka hanya bisa berdiam diri. Lalu untuk apa ada mereka? Untuk apa warga Tasikmalaya menghidupi mereka lewat pajak?

Event seperti ini memang sulit ditolak. Bahkan kalau mau jujur, pasti menghadirkan dampak positif di sisi lain. Tapi di sisi yang terpuruk, tak bijak juga rasanya jika dibiarkan begitu saja menggelepar dan sekarat.


Sebelum Terlambat

Editorial ini bukan untuk menolak event. Bukan pula untuk membatasi kreativitas kuliner. Ini adalah ajakan agar ada keseimbangan, strategi, dan keberpihakan yang jelas. Ajakan agar pemerintah semakin terasa hadir. Ajakan agar kota ini terasa sebagai tempat yang tertata, bukan seperti hutan belantara yang setia pada hukum rimba.
Jika pemerintah kota, dinas terkait, dan pengelola ruang publik tidak memikirkan langkah perlindungan UMKM kuliner lokal, maka 12 hari ini akan menjadi pintu awal keretakan yang jauh lebih panjang.

Sebelum membuat panggung besar untuk tamu jauh, pastikan dapur sendiri tetap menyala. Karena kota yang kehilangan rasa lokalnya, lama-lama hanya akan menjadi penonton di kotanya sendiri. Semoga pemerintah kota tidak hanya bisa bengong, apalagi kalau malah jadi penonton. Celaka!

Giuliana P. Sesarani

Giuliana Puti Sesarani, S.H. Redaktur Pelaksana Lintas Priangan [lintaspriangan.com]

Related Articles

Back to top button