Adu Gugatan PSU Tasikmalaya, Apa yang Sebenarnya Kalian Perjuangkan?

lintaspriangan.com, OPINI. Mahkamah Konstitusi kembali disibukkan oleh drama politik lokal yang aromanya tercium dari jauh—tajam, anyir, dan memaksa dahi berkerut. Kali ini datang dari Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Bukan karena bobot argumentasi yang mencerahkan demokrasi, tapi karena ironi yang membakar logika: gugatan Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang diajukan bukan sebagai upaya menegakkan keadilan, melainkan sebagai panggung untuk memuaskan hasrat kekuasaan.

Sekilas, gugatan ini tampak heroik, konon demi menjunjung tinggi nilai demokrasi. Tapi mari kita kupas lapis demi lapis. Yang menggugat menuduh kecurangan. Yang digugat juga tak kalah lihai dalam mendalangi “permainan”. Ironisnya, semua pasangan calon dituding (dan diam-diam diketahui publik) terlibat dalam praktik yang sama: money politic, mobilisasi ASN, serta parade pelanggaran etik yang dikemas rapi.

Faktanya, baik pada momentum Pilkada maupun PSU, selama masa kampanye dan pemungutan suara di Kabupaten Tasikmalaya, terjadi peningkatan kasus dugaan politik uang. Bukan satu atau dua calon yang diduga terlibat, tapi semua pasangan—tanpa terkecuali—terendus memainkan taktik amplop berisi “janji”. Seorang warga di Kecamatan Singaparna bahkan mengaku menerima “uang transport” dari dua kubu berbeda.

“Yang satu kasih Rp50 ribu, yang satu lagi Rp75 ribu. Saya ambil dua-duanya, tapi tetap nyoblos sesuai hati nurani,” ujarnya jumawa.

“Hati nurani yang mana? Yang terakhir ngasih!” Katanya, sambil tertawa getir.

Ironi berikutnya datang dari birokrasi. ASN di berbagai OPD diduga ikut terlibat mengarahkan dukungan, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Netralitas? Sepertinya sudah dikubur dalam lubang politik pragmatis. Tapi aneh bin ajaib, para calon justru saling tuding, seolah-olah satu bersih sementara yang lain kotor. Padahal, semua berenang di kolam yang sama.

Gugatan ke MK—dalam situasi seperti ini—bukanlah upaya mencari keadilan, melainkan jalan pintas mempertahankan hasrat. Gugatan diajukan bukan karena merasa dizalimi oleh lawan, tapi karena kalah tak bisa diterima. Maka, panggung mahkamah pun dijadikan kelanjutan arena pertarungan. Demokrasi yang seharusnya menjadi alat menuju kesejahteraan, berubah menjadi alat tukar nafsu berkuasa.

Biaya Pilkada Tasikmalaya 2024 menghabiskan anggaran lebih dari Rp150 miliar. PSU sebagai buntut dari gugatan, menyedot tambahan dana sekitar Rp50 miliar. Total: Rp200 miliar. Dan ini belum termasuk biaya sosial, biaya gesekan antarpendukung, dan biaya hilangnya kepercayaan rakyat pada sistem. Dana sebesar itu sejatinya bisa digunakan untuk membangun jembatan penghubung antar kecamatan yang rusak, memperbaiki layanan kesehatan di puskesmas desa, atau menambah beasiswa untuk siswa kurang mampu. Tapi nyatanya, anggaran itu habis terbakar di tungku ego para elite.

Yang paling dirugikan tentu rakyat. Mereka yang sejak awal hanya ingin pemimpin yang bekerja, bukan bertengkar. Mereka yang harus berulang kali mencoblos, padahal dapurnya belum tentu mengepul. Mereka yang diberi pilihan-pilihan politik yang tak betul-betul membawa harapan, melainkan menawarkan wajah berbeda dari racikan janji yang sama: manis di bibir, pahit dalam realisasi.

Gugatan PSU Tasikmalaya adalah cermin pecah dari demokrasi lokal. Pecahan-pecahannya memantulkan ironi: politik uang yang dilanggengkan, ASN yang dimanfaatkan, dan gugatan yang dijadikan senjata balas dendam. Sayangnya, semua ini terjadi atas nama “proses demokrasi”.

Kalau demokrasi di Tasikmalaya hanya dijadikan alat menyalurkan nafsu kekuasaan, maka sudah waktunya rakyat mengajukan gugatan balik—bukan ke Mahkamah, tapi ke nurani para pemimpin: untuk bertanya, “Apa sebenarnya yang kalian perjuangkan?” (Lintas Priangan)

DIKI SAM’ANI, Peminat Masalah Politik, Pemerintahan dan Anggaran, tinggal di Kabupaten Tasikmalaya

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More