Berita Tasikmalaya

Dua Buku Tasikmalaya yang Mengajak Warganya “Pulang”

lintaspriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Pagi di Gedung Creative Center (GCC) Dadaha, Kamis 11 Desember 2025, terasa berbeda bagi siapa pun yang berada di sana. Cahaya yang menembus jendela tidak sekadar menerangi ruangan, tetapi seolah ikut menyimak pertemuan penting, tentang lahirnya dua Buku Tasikmalaya, Tasikpedia dan Kota Tasik Bertutur. Keduanya bukan sekadar tumpukan kertas dan sampul rapi, melainkan upaya menghidupkan kembali obrolan kota dengan sejarahnya sendiri.

Di ruangan itu, sekitar seratus peserta duduk rapat, sebagian sambil membuka catatan, sebagian lain membiarkan pandangan berkeliling pada suasana yang terasa akrab meski formal. Ada perangkat daerah, guru, dosen, mahasiswa, hingga warga yang datang karena rasa ingin tahu. Orang-orang yang berkumpul bukan untuk sekadar menghadiri seremoni, tetapi seperti menyadari bahwa setiap halaman buku yang diluncurkan hari itu adalah bagian dari cerita besar yang tentang kampung halaman mereka: “Kota Tasikmalaya”.

Peluncuran dua Buku Tasikmalaya ini menjadi penanda serius bahwa Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata (Disporabudpar) ingin kota ini tidak kehilangan arah.
“Sahabat paling setia dalam perjalanan manusia adalah buku,” ujar Agus Fauzi, Kepala Bidang Budaya Disporabudpar Kota Tasikmalaya.
Kalimat itu memang sederhana, tapi bagi mereka yang menyaksikan langsung momen itu, pasti merasa pas. Di era ketika informasi berhamburan tanpa saringan, buku kembali menjadi jangkar untuk menautkan kota kepada sejarahnya.

Tidak ada musik keras atau dekorasi berlebihan. Yang terasa justru suasana lembut, seolah Kota Tasikmalaya sedang melakukan permenungan kecil tentang dirinya sendiri.

Menjaga Nama, Merawat Makna

Salah satu dari dua Buku Tasikmalaya yang diluncurkan, Kota Tasik Bertutur, menyorot toponimi, yakni asal-usul nama jalan dan tempat di kota. Istilah yang sering dianggap jauh dari kehidupan sehari-hari ini justru menjadi pintu masuk untuk memahami jejak Kota Tasikmalaya secara lebih utuh. Betapa banyak warga yang melintas di Jalan KHZ. Musthafa tanpa tahu kisah ulama besar di balik namanya? Atau melewati Jalan Yudanegara tanpa benar-benar tahu darimana sebenarnya nama tersebut berawal.

Buku kedua, Tasikpedia, menjadi semacam ensiklopedia longgar yang memuat sejarah, tokoh, budaya, hingga kearifan lokal. Disusun dengan bahasa yang lebih akrab, buku ini berusaha mempertemukan pembaca dari berbagai generasi, terutama generasi muda yang lebih sering digodok oleh dunia digital ketimbang oleh sejaranya sendiri.

Kedua buku tersebut ditulis oleh tim yang cukup berwarna: Dr. Ahmad Zaki Mubarak, Feri Ferdinand, Asep Mulyana, Reza Fahmi, Dian Permana, Kamaludin, Ali Yapi, Ade Yosi, serta tim internal Disporabudpar. Mereka bekerja seperti orang yang memunguti serpihan cerita yang tercecer di sudut-sudut kota, lalu merangkainya menjadi sesuatu yang utuh.

Agus Fauzi, Kepala Bidang Budaya Disporabudpar Kota Tasikmalaya, mengatakan bahwa peluncuran dua Buku Tasikmalaya ini adalah bentuk komitmen untuk mencegah warisan budaya hilang begitu saja. “Kalau tradisi dan sejarah tidak dituliskan, ia pelan-pelan hilang,” ujarnya. Pernyataan itu sederhana, namun menjadi semacam peringatan halus bahwa kota tanpa ingatan akan mudah ditarik ke arah yang berbeda-beda.

Disporabudpar mencetak Tasikpedia sebanyak 750 eksemplar dan Kota Tasik Bertutur sebanyak 700 eksemplar. Buku-buku itu akan didistribusikan ke sekolah-sekolah SD dan SMP, agar pelajar bisa mengenal kotanya dengan cara yang lebih berakar. Dalam dunia yang begitu cepat berubah, pengenalan sejarah lokal terasa seperti pegangan yang menjaga generasi tetap berpijak.

Acep (48), satu dari sekian peserta yang hadir pagi itu, menyampaikan komentar ringan kepada Deni Heryanto, wartawan Lintas Priangan.
“Buku ini banyak membuat saya terhenyak. Ternyata saya tidak terlalu baik mengenal kota kelahiran sendiri.”
Komentarnya pelan, tanpa dramatisasi. Tapi justru karena itu terasa tulus. Dan bukan mustahil mewakili banyak pembaca yang mungkin selama ini tidak tahu harus memulai dari mana untuk memahami kotanya.

Di balik peluncuran dua Buku Tasikmalaya ini, tersimpan pesan yang mengalir pelan, bahwa membaca adalah cara untuk pulang. Pulang kepada cerita, kepada kota, kepada identitas, kepada cita dan harapan, serta kepada ingatan darimana kita bermula. Maka pantas jika Bung Karno pernah berpesan, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!”

Dari Dadaha pagi itu, Tasikmalaya seolah berkata kepada warganya: “Mari pulang sebentar. Mari ingat dari mana kita berasal.” Lewat halaman-halaman baru ini, kota tidak hanya bercerita, tetapi juga mengajak warganya ikut menyusun masa depan dengan memahami masa lalu.

Dan mungkin, ini adalah perjalanan pulang yang sudah lama ditunggu banyak orang. (AS)

Related Articles

Back to top button