Diky Candra: “Anak Muda Tasik Harus Dekat dengan Sejarah Kota”

lintaspriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Wakil Wali Kota Tasikmalaya, Rd. Diky Candra, menghadiri peluncuran dua buku bertema budaya dan sejarah Tasikmalaya—Tasikpedia dan Kota Tasik Bertutur—di Gedung Creative Center (GCC) Dadaha, Kamis (11/12/2025). Acara berlangsung sejak pagi, di tengah udara yang terasa sedikit basah setelah hujan semalam. Para peserta datang bergiliran, beberapa guru terlihat membawa buku catatan kecil, sementara sekelompok mahasiswa memilih duduk di barisan tengah. Suasana santai namun antusias, khas agenda literasi yang mempertemukan banyak latar belakang.
Kehadiran Diky menjadi penanda dukungan pemerintah kota terhadap upaya pendokumentasian sejarah Tasikmalaya. Dalam sambutannya, ia menyampaikan kegelisahan pribadi mengenai generasi muda yang, menurutnya, semakin jauh dari pengetahuan dasar tentang kota sendiri.
“Masih banyak anak muda yang belum benar-benar mengenal tanah kelahirannya sendiri,” ujar Diky. Ia berbicara tanpa nada menggurui, lebih seperti seorang kakak yang sedang mengingatkan adiknya agar tidak lupa arah pulang.
Diky menilai kedua buku tersebut dapat menjadi referensi penting yang memperkaya pengetahuan warga tentang sejarah, budaya, ekonomi, tokoh lokal, hingga potensi daerah. Ia berharap literasi tumbuh bukan hanya dari tugas sekolah atau kewajiban akademik, tetapi dari rasa ingin tahu yang tumbuh secara natural. “Kita ingin literasi tumbuh dari kesadaran, bukan sekadar karena tuntutan sekolah,” katanya.
Sekitar seratus peserta menghadiri peluncuran tersebut. Unsur pemerintah daerah, MUI Kota Tasikmalaya, akademisi, guru, mahasiswa, hingga masyarakat umum cukup memenuhi ruangan utama GCC. Beberapa peserta bahkan mencatat ketika penulis menjelaskan proses risetnya—momen kecil yang menunjukkan bahwa kegiatan ini bukan sekadar acara seremonial.
Isi Buku dan Upaya Melestarikan Identitas Kota
Tasikpedia merupakan hasil kerja tim Disporabudpar bersama Dr. Ahmad Zaki Mubarak, Feri Ferdinand, dan Asep Mulyana. Buku ini merangkum sejarah, tokoh, budaya, ekonomi, hingga kearifan lokal Tasikmalaya. Penyusunannya digarap seperti ensiklopedia mini tentang kota, tetapi tetap mudah dicerna pembaca umum.
Sementara itu, Kota Tasik Bertutur yang diterbitkan CV Pustaka Turars Press, menyajikan toponimi, yakni asal-usul nama jalan, tempat, dan jejak sejarah yang melekat di banyak sudut Kota Tasikmalaya. Tim penulisnya terdiri dari Reza Fahmi, Dian Permana, Kamaludin, Ali Yapi, Ade Yosi, dan beberapa penulis Disporabudpar. Bagi sebagian peserta, penjelasan tentang bagaimana nama sebuah jalan dipilih mungkin terasa sederhana, tetapi justru dari sanalah identitas kota biasanya berakar.
Kepala Bidang Budaya Disporabudpar, Agus Fauzi, menegaskan bahwa kedua buku ini lahir dari kebutuhan mendesak untuk merawat tradisi lisan dan ingatan kolektif masyarakat. “Kami ingin mencegah tradisi lisan hilang begitu saja. Buku ini menjadi rujukan yang lebih terstruktur,” ujarnya.
Agus menjelaskan bahwa Tasikpedia dicetak 750 eksemplar, sedangkan Kota Tasik Bertutur dicetak 700 eksemplar. Seluruh eksemplar akan didistribusikan ke sekolah tingkat SD dan SMP melalui koordinasi dengan Dinas Pendidikan. “Anak-anak harus mengenal sejarah kotanya sejak dini,” katanya.
Ia juga menyebut bahwa peluncuran dua buku tersebut sejalan dengan upaya membangun ekosistem literasi yang lebih kuat di Tasikmalaya. Pemerintah menilai bahwa sejarah lokal harus bisa diakses melalui sumber informasi yang valid, tidak hanya dari cerita turun-temurun yang kadang tidak lengkap.
Respons Peserta dan Harapan Pemerintah Kota
Beberapa peserta memberikan kesan positif seusai acara. Seorang guru seni budaya tampak berbincang dengan rekannya, menyebut bahwa buku-buku ini akan menjadi bahan ajar tambahan yang “sangat membantu”. Seorang mahasiswa berkomentar bahwa ia baru memahami asal-usul beberapa nama jalan yang selama ini hanya ia lewati tanpa pernah bertanya.
Suasana diskusi pun berlangsung cukup hangat. Penulis dan tim penyusun membuka cerita soal proses riset, mulai dari penelusuran arsip, wawancara dengan tokoh setempat, hingga perdebatan kecil tentang penulisan istilah tertentu. Bagi peserta, momen tersebut memberi gambaran nyata tentang kerja di balik sebuah buku sejarah.
Pada penutupan acara, Diky kembali menegaskan harapan pemerintah agar publik memanfaatkan kedua buku tersebut sebagai referensi yang relevan dan mudah diakses. “Kita ingin masyarakat mengenal dan mencintai kotanya melalui pemahaman yang benar,” ujarnya.
Dengan peluncuran ini, Pemerintah Kota Tasikmalaya menegaskan komitmennya untuk menjaga memori kolektif warga. Di tengah arus digital yang mengalir cepat, dua buku ini diharapkan menjadi jangkar kecil—pengingat bahwa identitas sebuah kota selalu berangkat dari sejarah yang dituliskan dan dirawat bersama. (AS)





