Tajuk

Asyiknya “Main Internet”

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Di tengah kesibukan birokrasi yang sering kali lebih padat dari jadwal konser band nostalgia, rupanya ada satu aktivitas yang tak pernah gagal menghibur sebagian pejabat pengelola anggaran, yaitu main internet. Bukan internet dalam pengertian umum yang kita kenal. Bukan sekadar browsing, bukan streaming, scrol TikTok, bukan pula mengunggah laporan kinerja sebelum tenggat. Itu semua terlalu biasa. Yang benar-benar “mengasyikkan” adalah main-main di anggaran internet. Sebuah taman bermain sunyi, eksklusif, dan hanya bisa dimasuki oleh mereka yang tahu cara membaca spesifikasi teknis sambil tetap menutup rapat logika dasar.

Asyiknya bagaimana? Ah, jelas. Di mana lagi ada wahana hiburan dengan istilah rumit seperti “Metro Inner Local Loop” dan “Dedicated Mixed Bandwidth”, tetapi sensasinya jauh lebih seru dari semua wahana Dunia Fantasi. Main internet dalam versi birokrasi adalah perpaduan antara fantasi teknologi, angka-angka raksasa, dan celah abu-abu yang luas, mirip bandwidth 10 Gbps dunia distopia cyberpunk, tetapi dengan drama yang lebih manusiawi. Kalimat terakhir ini sengaja disisipkan untuk anak kesayangan pejabat yang terlibat belanja internet. Ya, buat anak kesayangannya, bukan buat pejabatnya. Karena pejabatnya, 99% kemungkinannya tidak akan faham dengan maksud kalimat tersebut.

Local loop, misalnya. Di atas kertas, tampilannya begitu gagah. Seperti backbone rahasia yang akan mengubah seluruh pelayanan publik menjadi super cepat, super efisien, dan super futuristik. Tapi ketika diperiksa ulang, aplikasi lokal yang benar-benar hidup dan dan membutuhkan ternyata bisa dihitung dengan jari. Aplikasi yang butuh server mandiri pun jumlahnya tak lebih dari hitungan jari. Dan trafik datanya? Yah… sebenarnya masih bisa ditangani layanan sekelas Neng Astina, adiknya Dek Speedy, Dua nama imajiner yang mewakili kenyataan: trafiknya sempit, tetapi laganya dibuat lebar dan menggelegar.

Namun jangan salah. Dalam dunia pengadaan, ukuran bukan soal kebutuhan. Ukuran adalah citra. Dan kapasitas besar selalu tampak seperti kemenangan. Meskipun sebenarnya kedodoran, yang penting angkanya terdengar memukau di telinga yang tidak terbiasa bertanya “buat apa?”.

Setelah local loop, giliran internet dedicated dengan kekuatan ribuan Mbps. Angkanya bombastis, istilahnya menggentarkan, dan brosur vendor tampak begitu penuh cahaya harapan. Sayangnya, belum tentu sebenarnya angka-angka sebesar itu benar-benar dibutuhkan. Jangan-jangan trafik justru lebih sepi daripada halaman portal berita lokal sekelas Lintas Priangan. Tetapi lagi-lagi, dalam seni penganggaran, relevansi bukan raja. Yang penting angkanya terlihat keren, dan proses belanja bisa dilakukan di “toko yang sama”, atau setidaknya di toko sepupunya.

Fleksibilitas seperti ini membuat dunia pengadaan terasa seperti sulap teknologi. Angka Mbps bisa dipajang sebesar mungkin, sementara pertimbangan sederhana seperti berapa titik yang terhubung, siapa yang benar-benar membutuhkan, dan pekerjaan apa yang harus ditopang jaringan, sering kali hilang di balik kabut istilah teknis. Mungkin sengaja dibiarkan hilang, mungkin juga memang tidak dianggap penting. Yang pasti, angka-angka besar selalu punya daya pikat tersendiri, terutama bagi mereka yang rajin memoles laporan.

Lebih seru lagi ketika dua provider dilibatkan sekaligus. Alasannya klise tetapi selalu ampuh: “untuk backup!”.
“Laah, katanya uptime-nya 99,99%, Kang!” Kok pakai backup bermilyar-milyar?. Bukankah angka uptime yang dibanggakan itu setara dengan hanya mati 4 menit dalam sebulan? Apa perlu di-backup dengan anggaran setara beli baru?
Lebih dalam lagi kalau digali, dua barang ini belum tentu ada pemisahan jalur, belum tentu perangkatnya berbeda, belum tentu infrastrukturnya ganda. Bisa jadi yang berbeda hanya nama di atas kertas, sementara kabelnya tetap itu-itu juga, satu-satunya jalur cinta yang menghubungkan semuanya.

Dokumen spesifikasi jaringan adalah cerita lain yang tak kalah dramatis. Di dalam kertas, semuanya tampak rapi, detail, dan futuristik, mirip proposal proyek sains-fiksi tentang masa depan penuh cahaya. Tetapi ketika orang teknis benar-benar turun ke lapangan, muncul kalimat yang paling sering menggema di dunia TI pemerintahan: “Ah… sudahlah.” Entah karena perangkat yang dijanjikan tidak tampak, entah karena topologi tidak sesuai peta, atau entah karena seluruh anggaran terasa lebih banyak menumpang pada fantasi daripada kenyataan.

Dan inilah bagian yang membuat permainan ini semakin asyik, bahwa pengadaan jaringan adalah jenis belanja yang tidak mencolok, meski kadang manipulasi di belakangnya lebih brutal dari proyek irigasi di pinggir hutan. Kalau membangun ruang kelas, tinggal ukur dinding, lihat plafon, cek keramik. Tapi bandwidth 1:1? Latency di peak hour? Throughput real-time? SLA yang benar-benar simetris? Siapa mau periksa? DPRD? Jangan bercanda. Bahkan rapat komisi bisa berubah sunyi kalau topik seperti itu dilontarkan. Andaipun ada satu dua kepala yang faham, prosesnya bisa terlunta-lunta, dengan ujung yang entah berakhir dimana.

Di sinilah keindahan permainan ini berada. “Main internet” itu rumit bagi publik, tapi sederhana sekali bagi yang faham. Sayangnya, yang faham tidak banyak. Beruntung, salah satu tim IT di Lintas Priangan pernah malang melintang di dunia beginian, sebelum kemudian resign dan memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
Ya, permainan in indah. Besar angkanya, mudah dipoles, dan teknisnya cenderung dibiarkan kabur. Uniknya, sekencang apapun perubahan teknologi berlari, ada satu hal yang sepertinya dijaga untuk abadi, yakni seni mengelola anggaran.

Dan bagi Lintas Priangan yang tidak mau berhenti pada sekadar menulis editorial, tentu ada pertanyaan yang menggelitik: apa saja yang sebenarnya tersembunyi di balik semua ini?

Tunggu investigasi Lintas Priangan untuk mendapatkan jawabannya.

Related Articles

Back to top button