Opini

Pancasila: Harus Selalu Jadi Pondasi Perencanaan Pembangunan

lintaspriangan.com, OPINI. Tidak lama setelah pemerintah mengumumkan visi “Bersama Indonesia Maju, Menuju Indonesia Emas 2045”, saya sempat membaca komentar warganet di salah satu portal berita. Ada yang antusias, ada yang mencibir, dan ada juga yang menulis: “yang penting sembako jangan naik dulu.”
Beginilah Indonesia. Ketika pemerintah bicara visi jangka panjang, rakyat merespon dalam jangka yang sangat pendek. Dan, menurut saja, dua-duanya sah-sah saja.

Tapi di antara semua janji, jargon, dan target pembangunan, ada satu bagian yang membuat saya berhenti sejenak ketika membaca dokumen Asta Cita, tepatnya tentang poin pertama tentang memperkokoh ideologi Pancasila. Bukan karena saya bekerja di Bakesbangpol, tapi karena saya merasa poin ini seperti kalimat yang sering kita ucapkan… dan sering pula kita lupakan.

Pancasila Sering Dikutip, Tapi Tak Selalu Jadi Kompas

Dalam banyak rapat kerja, saya sering mendengar kalimat bagus seperti:
“kita harus kembali pada nilai Pancasila.”
Biasanya diucapkan ketika diskusi mulai buntu. Mirip-mirip seperti ketika orang bilang, “yang penting kita ikhlas ya,” setelah kesulitan mencapai mufakat.

Padahal Pancasila tidak dirancang sebagai penutup rapat, tetapi sebagai dasar negara yang memandu arah. Tapi realitas di lapangan, sebagai orang yang cukup hobi memantau dinamika sosial, realitasnya agak berbeda.

Contoh kecil:
Ada warga yang mengaku cinta persatuan, tapi ribut di grup WhatsApp RT hanya gara-gara hoaks satu paragraf.
Ada tokoh publik yang pidatonya dipenuhi materi keadilan sosial, tapi sensitif kalau antreannya disamakan dengan warga biasa.

Di sinilah saya merasa menguatkan Pancasila bukan idealisme kosong. Itu kebutuhan. Nyata.

Pancasila Rapuh, Yang Lain Ikut Rapuh

Mari bicara logika sederhana.

  • Mau bangun hilirisasi industri? Perlu integritas.
  • Mau reformasi birokrasi? Perlu budaya kerja yang bersih.
  • Mau pemerataan ekonomi? Perlu rasa keadilan.
  • Mau negara damai? Perlu penghormatan terhadap perbedaan.
  • Mau jalan semuanya mulus? Perlu mufakat saat penentuan prioritas anggaran.

Mari renungkan bersama. Semua yang kita mau, selalu mensyaratkan nilai-nilai Pancasila agar bisa dicapai. Dan semua itu tidak muncul otomatis dari APBN. Tidak bisa dibeli lewat tender. Kita perlu sama-sama menjejak kuat di atas pondasi Pancasila. Karena saat Pancasila sudah ditinggalkan sejak tahap perencanaan, saat itu pula kita sedang merencanakan kekacauan.

Jadi, ketika Asta Cita menaruh penguatan ideologi di nomor satu, itu bukan sekadar penomoran. Itu peringatan. Kita tidak bisa memimpikan 2045 jika pondasi nilainya keropos oleh intoleransi, ego sektoral, atau lupa menakar keadilan.

Tantangan Pancasila Hari INi

Jika dulu ancaman ideologi Pancasila datang dalam bentuk organisasi yang jelas siapa pemimpinnya, sekarang ancaman datang dari sesuatu yang lebih sunyi dan halus, sesederhana konten video pendek berdurasi 30 detik.

Kadang saya melihat anak-anak muda di warung kopi lebih hapal quotes motivator TikTok ketimbang sila-sila Pancasila.
Saya tidak menyalahkan mereka. Dunia sudah berubah. Tempo hidup mereka memang lebih cepat. Nilai yang tidak ditampilkan secara menarik, akan disisihkan oleh algoritma tanpa ampun.

Karena itu, Pancasila harus ditanamkan sebagai pondasi dalam perencanaan semua aspek pembangunan. Hari ini, tidak cukup menguatkan Pancasila lewat upacara bendera atau ceramah formal.
Jika bangsa dan negara ini ingin kokoh, sama sekali tidak ada pilihan lain, selain bertumpu pada pondasi yang kuat dan sudah teruji dalam bentang sejarah ratusan tahun. Tak sampai di situ, Pancasila bahkan harus disengaja untuk masuk ke tempat-tempat di mana percakapan publik terjadi. Mungkin di timeline media sosial, video pendek, ruang diskusi daring yang kadang riuh dan kadang absurd.

Nilai Sering Tumbang Bukan Karena Teori, Tapi karena Ego

Sebagai ASN Bakesbangpol di daerah, saya melihat bahwa gesekan sosial di daerah sering lahir dari hal-hal sederhana.
Misalnya, isu beda pilihan politik, sentimen kelompok, atau salah paham yang dipicu unggahan yang bahkan tidak jelas sumbernya.

Ketika hal seperti ini terjadi, saya selalu teringat Sila Ketiga. Bunyinya indah. Tapi menghidupkannya? Itu pekerjaan panjang. “Kepentingan bangsa harus berada di atas kepentingan pribadi atau kelompok,” begitu kira-kira bunyinya.

Kita bisa membangun ratusan proyek fisik, tapi membangun rasa saling percaya membutuhkan waktu. Terlalu mudah bagi kita merencanakan pengadaan apapun dalam nilai milyaran rupiah, tapi membangun suasana saling memahami tidak pernah diprogramkan. Kita bisa melihat seperti negara maju.Faktanya bukan hanya soal jalan mulus atau gedung tinggi, tapi masyarakat yang lebih dialogis dan punya antibodi terhadap hasutan-hasutan tak jelas.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dimulai di daerah, dan menjadi materi kuat dalam perencanaan program prioritas, antara lain:

  • Menghidupkan dialog lintas komunitas, bukan sekadar seremoni nasionalisme.
  • Melatih literasi kebangsaan dengan pendekatan kreatif, bukan hafalan.
  • Menguatkan edukasi digital agar masyarakat tidak mudah dipermainkan narasi viral.
  • Mengawal agar kebijakan daerah benar-benar berpihak pada nilai keadilan dan kemanusiaan.
  • Dan yang paling sulit: menghadirkan teladan khususnya dari para public figure dan ASN sebagai representasi negara.

Karena kalau birokrasi tidak mencontohkan nilai Pancasila, masyarakat akan bertanya-tanya: “jadi siapa sebenarnya yang harus mulai duluan?”

Negara Maju Dimulai dari Nilai yang Tidak Ramai Dibicarakan

Kita boleh merencanakan Indonesia Emas 2045 dengan segala data optimistisnya. Tapi kalau nilai dasar bangsa tidak benar-benar kita rawat, maka seluruh rencana pembangunan tinggal angka di kertas kerja. Ibarat kita membangun sebuah rumah, tapi lupa menghitung faktor pondasinya.

Negara maju membutuhkan lebih dari sekadar strategi ekonomi. Ia membutuhkan karakter.
Dan karakter bangsa tidak dibangun oleh proyek prestisius, tetapi oleh komitmen sehari-hari pada nilai-nilai yang sering kita ucapkan, nilai yang sebenarnya jadi pondasi bangsa ini sejak lama: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan.

Tentu, tak ada satupun butir nilai Pancasila yang meminta kita menjadi sempurna.
Ia hanya meminta kita untuk sadar bahwa hidup berbangsa dan bernegara, tidak boleh berdiri di luar area pondasi yang pernah mendirikan bangsa ini.


Penulis: Senny Apriani, S.IP., M.Si.
“Saat ini penulis bekerja sabagai Analis PEP di Badan Kesbangpol Kabupaten Tasikmalaya. Sebelum bekerja sebagai ASN, penulis dikenal aktif di organisasi, antara lain: sebagai Ketua Umum HMI Kabupaten Ciamis, Presiden Mahasiswa Universitas Galuh, Pendiri Yayasan Pemberdayaan Perempuan Dyah Pitaloka.”

Related Articles

Back to top button