Aku Mencintaimu, Tapi Aku Harus Bersama Bangsaku

lintaspriangan.com, WASBANG. Batavia, 1908. Langit pagi di atas sekolah dokter pribumi, STOVIA, masih kelabu, seakan mencerminkan kegelisahan di dada para pemudanya. Di lorong panjang yang berbau alkohol dan obat-obatan, suara langkah tergesa seorang mahasiswa menggema. Sutomo—berwajah tenang namun matanya menyala oleh api yang belum padam sejak ia membaca surat kabar dari Eropa, tentang kaum muda di Serbia yang berani memproklamirkan kemerdekaan bangsanya—berhenti di depan kamar nomor 12.

“Gunawan! Bangun! Kita harus rapat sebelum kuliah anatomi!”

Dari balik pintu, Gunawan Mangunkusumo muncul, mengenakan baju tidur lusuh dan rambut yang acak-acakan. Tapi senyum tetap mengembang di wajah sahabatnya itu.

“Kau pikir bisa membangkitkan nasionalisme sebelum secangkir kopi hitam?” gumam Gunawan sambil menguap.

Namun yang datang pagi itu bukan hanya semangat perjuangan. Di balik pertemuan rahasia malam itu di asrama, ada satu wajah lain yang terus menghantui pikiran Sutomo: Wilhelmina van der Meer, gadis Belanda yang sering datang menemani ayahnya, seorang dokter pengajar di STOVIA. Ia bukan sekadar wanita cantik berambut pirang dan mata sebiru langit musim dingin—ia adalah sosok yang mengerti impian Sutomo tentang Indonesia merdeka. Dan justru itu yang membuat segalanya jadi benar-benar tidak mudah.

“Tom,” suara Gunawan tiba-tiba merendah, seraya melirik Sutomo yang tak pernah lepas dari buku-buku tebal kedokteran.

“Kau masih memikirkan dia?” sambung Gunawan.

Sutomo terdiam. Di tangannya, buku pelajaran berubah menjadi beban yang lebih berat daripada apapun yang ada di sekitarnya.


Malam itu, ruangan kecil di balik perpustakaan tua menjadi saksi bisu sejarah. Sutomo, Gunawan, Cipto Mangoenkoesoemo, Suraji Tirtonegoro dan beberapa mahasiswa lain duduk melingkar, mata mereka serius, penuh bara.

“Kita harus bangkit. Tak cukup jadi dokter yang hanya menyembuhkan tubuh. Kita harus menyembuhkan bangsa ini!” seru Cipto, lantang tapi setengah tertahan, membelah keheningan.

“Nama perkumpulan ini?” tanya seseorang.

“Yang pasti, Kita butuh wadah. Bukan pemberontakan, tapi kebangkitan.” Sutomo menegaskan konsep.

Suraji menatap ke arah jendela, tempat cahaya bulan jatuh seperti harapan yang tipis.

“Boedi Oetomo,” ucap Suraji.

“Kebajikan yang luhur. Karena yang kita perjuangkan bukan sekadar kebebasan, tapi juga martabat dan masa depan penerus bangsa ini,” tambah Suraji.

Usulan Suraji disambut mufakat. Tepat saat tangan mereka saling menggenggam, membulatkan tekad, pintu diketuk. Wilhelmina berdiri di sana, matanya memohon pengertian, sedikit membundar seolah menahan air mata yang tak sabar ingin keluar.

“Tom… Papa tahu. Kalian bisa dipenjara.”

Sutomo berdiri, jantungnya berdegup kencang.

“Kau seharusnya tak di sini.”

“Tapi Aku takut kehilanganmu.”

Ia menggenggam tangan Wilhelmina, lama. Tanpa suara, tapi tatapan matanya menyampaikan berjuta kata.

“Mina… aku mencintaimu. Tapi tak bisa membiarkan bangsaku.”

Tangis gadis Belanda itu pecah di bahunya. Malam itu, cinta dan negara berseteru dalam dada seorang pemuda 19 tahun.


Tanggal 20 Mei 1908, di aula kecil sekolah, Boedi Oetomo resmi berdiri. Tanpa spanduk, tanpa sorak-sorai, tanpa dokumentasi dan seremonial apapun. Boedi Oetomo lahir dalam sepi. Tapi suara hati mereka menggema, lebih keras dari genderang perang.

Dan sejak itu, Wilhelmina tak pernah lagi muncul di STOVIA. Sebuah surat ditinggalkan untuk Sutomo:

“Untuk pemuda yang memilih tanah airnya di atas cintanya. Aku bangga padamu. Aku akan mencintaimu dalam diam, selamanya.”
– Wilhelmina


Bertahun-tahun kemudian, ketika Boedi Oetomo dikenang sebagai awal kebangkitan nasional, Sutomo berdiri di atas podium, rambutnya telah memutih. Di tangannya, surat Wilhelmina yang telah lusuh masih ia simpan.

“Perjuangan adalah luka. Tapi luka dalam ini telah melahirkan bangsa,” ucapnya kepada para pemuda di hadapannya.

Surat lusuh Wilhelmina semakin ia genggam, hingga tangannya yang sudah mulai keriput itu sedikit bergetar. Puluhan pasang mata generasi penerusnya tahu, manusia di hadapan mereka, bukan sekedar dokter. Ia adalah korban dari cinta yang berseteru—pada seorang gadis, dan pada bangsa.

Karya: Omzep (Penulis Buku Vademekum Pancasila)

Catatan Redaksi:

Sebagian pada cerita di atas adalah fiktif. Ditulis demi menyambut momentum kebangkitan nasional.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More