Anggaran Jaringan Mewah, tapi Manfaatnya Rendah

lintaspriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Di tengah derasnya narasi transformasi digital, kondisi faktual website milik satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya justru memperlihatkan wajah sebaliknya. Penelusuran redaksi menemukan hampir seluruh website resmi SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya tidak terkelola dengan baik. Banyak situs mati, tak bisa diakses, kosong dari konten, atau tak diperbarui selama berbulan-bulan.
Paradoks ini menjadi semakin mencolok jika dikaitkan dengan besarnya anggaran belanja jaringan pemerintah. Dalam beberapa tahun terakhir, nominalnya menyentuh miliaran rupiah per tahun. Pertanyaannya sederhana: untuk apa jaringan sebesar itu dibeli, jika etalase layanan digitalnya sendiri mirip peti mati?
Website Mati, Error, dan Tak Terurus
Penelusuran dilakukan dengan metode uji akses langsung ke website resmi masing-masing SKPD. Hasilnya mengejutkan. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUTR) serta Dinas Pertanian sama sekali tidak bisa diakses. Dinas Lingkungan Hidup hanya memuat sekitar lima berita, sementara Dinas Kesehatan terakhir memperbarui konten pada Agustus 2024. Dinas KUMKM menampilkan halaman depan tanpa layanan fungsional, dan Dinas Perhubungan hanya sekali memperbarui berita sepanjang 2025.
Dinas Tenaga Kerja menunjukkan aktivitas minim, sedangkan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah menjadi sedikit pengecualian karena masih melakukan pembaruan. DPMPTSP terakhir mempublikasikan berita pada Juli 2024, tetapi temanya sudah ketinggalan zaman. Banyak menu dalam laman-laman ini pun tak berfungsi.
Ironisnya, situs resmi Dinas Kominfo—yang seharusnya menjadi garda terdepan pengelolaan sistem digital—terakhir memperbarui konten pada pertengahan 2025. Badan Pendapatan Daerah dan RSUD Dr. Soekardjo hanya memiliki halaman utama, sementara menu pelayanan kosong atau tidak aktif. Badan Kesbangpol dan Dinas Porabudpar masih menunjukkan aktivitas, tapi jauh dari kategori sehat dalam pengelolaan konten.
Website tingkat kecamatan juga tak kalah memprihatinkan. Subdomain untuk Kecamatan Cihideung, Cipedes, Tawang, Indihiang, Kawalu, Cibeureum, Tamansari, Mangkubumi, Bungursari, hingga Purbaratu memang ada, tetapi tak satu pun aktif.
Antara Anggaran Besar dan Website Profesional
Kondisi ini menjadi janggal jika dibandingkan dengan data belanja jaringan pemerintah. Selama periode 2022–2025, pemerintah menggelontorkan anggaran jaringan intrapemerintah bernilai miliaran rupiah tiap tahun. Pada 2022, belanja difokuskan pada jaringan intranet berbasis local loop. Tahun berikutnya, dialokasikan untuk layanan internet dedicated berkapasitas 2.500 Mbps. Pada 2024 dan 2025, pemerintah kembali membeli jaringan local loop untuk sekitar 300 titik.
Di atas kertas, angka ini menunjukkan keseriusan. Namun realitas di lapangan justru berbeda: website lumpuh massal, konten minim, dan layanan digital tak optimal.
Ada korelasi logis antara besarnya belanja jaringan dan kualitas website. Infrastruktur intranet berkapasitas tinggi seharusnya memudahkan distribusi data antarunit SKPD, mulai dari dokumen, laporan, foto kegiatan, hingga konten multimedia. Akses internet memadai memungkinkan pengelolaan konten lebih leluasa, kolaborasi antar-tim, integrasi fitur layanan digital, dan pemantauan performa situs secara real-time. Dengan jaringan yang stabil, SKPD dapat memanfaatkan cloud service, API, dan layanan digital tambahan untuk menciptakan ekosistem website yang handal dan profesional.
Faktanya, ketika semua potensi itu tidak dimanfaatkan, masalahnya bukan pada besarnya anggaran, tetapi pada pengelolaan internal yang kurang efektif.
Redaksi sudah mengantongi sejumlah data terkait pola pengadaan, pemanfaatan riil, dan pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola sistem ini. Faktanya, di saat anggaran besar digelontorkan untuk kabel dan bandwidth, wajah digital pemerintah tampak seperti kuburan massal: sunyi, dingin, dan diabaikan ramai-ramai.
Peran DPRD Kota Tasikmalaya
Dalam situasi ini, peran DPRD Kota Tasikmalaya menjadi sangat penting. Seharusnya mereka tidak diam melihat anggaran miliaran rupiah digelontorkan, sementara output digital yang dihasilkan tampak minimal. DPRD sebagai pengawas dan wakil rakyat memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk menuntut transparansi, memastikan efektivitas belanja, serta mendorong peningkatan kapasitas pengelolaan website SKPD. Tanpa kontrol dan intervensi yang serius, potensi besar jaringan dan teknologi digital akan tetap sia-sia, sementara publik hanya menerima citra pemerintah yang tampak mewah di angka, namun lemah di praktik pelayanan digital. (AS)




