lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dikenal sebagai sosok flamboyan. Gaya komunikasinya energik, gemar blusukan, dan tak segan membuat aksi teatrikal demi menarik perhatian publik. Saat Persib Bandung meraih gelar juara Liga 1, Dedi pun ikut menyemarakkan euforia: ia menjanjikan bonus Rp2 miliar, setengahnya dari kantong pribadinya, dan setengah lagi, ia berniat menghimbau urunan dari Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov Jabar.
Namun, ketika bicara realisasi, yang terjadi jauh dari harapan. Dari target Rp1 miliar yang diminta dari para ASN, nyatanya hanya Rp365,5 juta yang berhasil dikumpulkan. Itu pun setelah dilakukan kampanye internal oleh Sekretaris Daerah dengan imbauan agar ASN menyumbang dari TPP dan gaji bulanan mereka. Sementara jumlah ASN Pemprov Jabar sendiri berkisar 50.000 orang, yang bila setengahnya saja (25.000 ASN) mau menyumbang Rp40.000 per orang—jumlah yang setara dengan 2x makan siang di warung nasi sederhana—maka target bonus itu jelas sangat mudah dicapai. Apalagi, kemarin-kemarin, semua ASN termasuk yang berstatus pegawai di Provinsi Jabar, baru saja menerima gaji dan TPP ke-13. Angka Rp40 ribu, seharusnya bukan angka yang berat bagi mereka.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya: mayoritas ASN diam. Tidak tergerak, tidak tergugah. Padahal bonus itu ditujukan untuk klub kebanggaan warga Jabar. Keengganan ASN ini menjadi indikasi penting: sebesar apa sebenarnya pengaruh Dedi Mulyadi di kalangan internal birokrasi yang dipimpinnya?
Fenomena ini menjadi menarik bila dibandingkan dengan sosok pemimpin di daerah, seperti Wali Kota Tasikmalaya, Viman Alfarizi. Dia tidak tampil heboh, tidak naik panggung atau pawai keliling kota, dan tidak memamerkan aksi heroik di media sosial, apalagi sampai joget dan buka baju. Namun di tangan Viman, ASN Kota Tasik bergerak.
Apa faktanya? Setidaknya melalui program “Nyaah ka Indung” dan “ASN Peduli Stunting”, para pegawai pemerintahan rutin turun ke masyarakat. Beberapa instansi di lingkungan Pemkot Tasikmalaya sudah memiliki jadwal turun lapangan: mendampingi ibu hamil, memberikan edukasi gizi balita, bahkan membantu warga lanjut usia. So pasti, para ASN ini keluar uang pribadi, berapapun itu. Sebagian besar aksi ini bahkan tidak diliput media—karena memang tidak ditujukan untuk publikasi.
Tanpa perlu sorotan kamera atau narasi bombastis, Viman berhasil menggerakkan birokrasi yang hidup dan peka sosial. Sementara Dedi—yang dielu-elukan di media sosial—gagal sekadar berharap ASN-nya patungan untuk sesuatu yang bersifat euforia publik.
Bukan mustahil, gagalnya urunan bonus Persib bukan soal uang. Ini soal keterhubungan emosional antara pemimpin dan pegawainya. ASN yang percaya dan merasa terlibat dalam visi pemimpin akan bergerak bahkan tanpa diminta. Sebaliknya, gimik publik saja tidak cukup untuk membangun kepercayaan birokrasi.
Dedi Mulyadi boleh unggul di ranah popularitas, tetapi Viman Alfarizi –suka atau tidak– faktanya berhasil menggalang solidaritas birokrasi. Gimik memancing tepuk tangan, tetapi ketulusan pemimpin memicu gerakan nyata. Jika Dedi ingin membangun fondasi kepemimpinan yang kuat di internal Pemprov Jabar, barangkali ia harus mulai belajar diam-diam dari Viman—pemimpin muda yang tahu bahwa kekuatan seorang pemimpin bukan di panggung, tapi di hati orang-orang yang bersedia mengikutinya tanpa disuruh.