Memahami Teori Disonansi Kognitif Sebelum Bernafsu Main Pencitraan

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Pencitraan, atau yang sering disebut sebagai “spin”, kini menjadi salah satu alat utama politisi dalam berinteraksi dengan publik. Bukan hanya sekadar kosmetika komunikasi, pencitraan bisa menjadi senjata ampuh untuk meraih simpati massa atau mencapai tujuan politik tertentu. Faktanya, politisi memang butuh pencitraan, terutama ketika mereka sedang mengejar target-target tertentu, entah itu elektabilitas, proyek besar, atau posisi penting.

Namun, jangan buru-buru bernafas lega, karena pencitraan di media itu bukanlah hal sepele. Untuk siapapun yang baru belajar pencitraan di media, sabar dulu! Sebelum Anda masuk lebih dalam ke dunia pencitraan yang penuh trik ini, ada baiknya memahami teori disonansi kognitif. Siapa tahu, teori ini akan menyelamatkan citra Anda. Karena jika tidak, pencitraan dalam karier politik Anda malah akan jadi bahan tertawaan.

Pencitraan yang Prematur, Berlebihan, dan Berisiko

Jangan pernah anggap pencitraan itu sekadar menyusun kata-kata manis dan mengatur gambar senyum di media sosial. Itu hanyalah sebagian kecil dari gambaran besar. Pencitraan yang sukses harus dikonsep secara matang. Seperti halnya rencana serangan di medan perang, pencitraan yang tidak sesuai dengan fakta bisa memancing “counter framing” yang berbahaya. Apa itu? Ini adalah fenomena di mana pihak lawan atau media membangun narasi tandingan yang berlawanan dengan citra yang ingin dibangun.

Lebih buruk lagi, dalam upaya menanggulangi pencitraan yang meleset dari kenyataan, bisa jadi justru menciptakan celah bagi pihak-pihak yang tidak suka, untuk menggali sisi-sisi kelam kehidupan pribadi si politisi. Jangan terkejut kalau media dan netizen tiba-tiba gencar menyerang latar belakang, kebiasaan, atau bahkan kekurangan pribadi yang sebelumnya tidak dianggap penting. Citra yang sedang dibangun bisa berbalik menjadi bumerang, dan bukan hal aneh jika kemudian terasa seperti sedang berada di atas api neraka. Oleh karena itu, sebaiknya pikirkan matang-matang sebelum melakukan pencitraan yang terkesan berlebihan, karena hasilnya bisa jauh dari yang diharapkan.

Teori Disonansi Kognitif: Ketidaksesuaian yang Membuat Gelisah

Sebelum melangkah dalam dunia pencitraan, ada satu hal yang perlu dipahami. Manusia itu cenderung tidak suka merasa gelisah atau bingung. Ketika mereka menerima informasi baru yang bertentangan dengan pengetahuan atau keyakinan yang sudah ada sebelumnya, itu akan menciptakan disonansi kognitif. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957, yang menggambarkan kondisi psikologis yang terjadi saat seseorang merasa tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuaian antara dua kognisi atau keyakinan yang dimilikinya. Misalnya, jika masyarakat sudah mengenal seorang politisi sebagai sosok yang sederhana, tiba-tiba muncul citra besar-besaran yang menampilkan dirinya sebagai sosok mewah dan glamour, pasti publik akan merasa tidak nyaman dan bingung. Rasa gelisah inilah yang kemudian memicu pertanyaan, “Apakah ini yang sebenarnya terjadi?”

Teori disonansi kognitif ini menjadi sangat relevan dalam konteks pencitraan politik. Mengapa? Karena pencitraan yang tidak sesuai dengan citra asli atau kenyataan bisa menciptakan ketidaksesuaian dalam pikiran masyarakat. Ketika disonansi ini terjadi, orang cenderung berusaha mengurangi ketidaknyamanan tersebut dengan mencari informasi yang bisa mengonfirmasi keyakinan mereka sebelumnya. Dalam konteks ini, jika masyarakat sudah memiliki citra tertentu tentang si politisi, dan pencitraan yang dibuat terkesan bertentangan dengan citra tersebut, maka publik akan mencoba membentuk narasi baru untuk melawan pencitraan tersebut. Hasilnya, si politisi berpotensi terjebak dalam pusaran kontradiksi yang tak berujung.

Jangan Ujug-Ujug, Bangun Citra Secara Perlahan

Jadi, apa solusinya agar pencitraan yang dilakukan tidak berbalik menjadi bumerang? Sederhana saja. Jangan langsung terjun ke dalam pencitraan yang besar dan dramatis. Sebelum melangkah jauh, bangun citra yang positif dan relevan dengan realitas. Mulailah dengan langkah kecil: berikan sedikit sentuhan berita ringan yang memperkenalkan sisi baik Anda. Jangan terburu-buru, biarkan masyarakat dan media menilai citra baik yang dibangun secara perlahan. Beri mereka kesempatan untuk “mencicipi” citra positif tersebut, sebelum akhirnya melakukan pencitraan yang lebih kuat dan jelas untuk mencapai target tertentu. Proses ini membutuhkan kesabaran dan ketekunan, tapi hasilnya akan jauh lebih solid dan tahan lama.

Ketika Pencitraan Jadi Harakiri

Sebaliknya, jika pencitraan dilakukan secara prematur, justru akan menjadi bumerang yang mematikan. Pencitraan yang terkesan tiba-tiba atau dibuat-buat bisa mengundang pertanyaan dan kecurigaan dari media dan publik. Apalagi jika hanya dilakukan oleh beberapa media saja. Jangan kira media lain dan masyarakat akan diam begitu saja? Jangan harap! Mereka akan merespons, bahkan bisa jadi membalikkan narasi pencitraan dengan sangat mudah. Jika Anda nekat melakukannya, ini bisa menjadi contoh paling jelas dari harakiri yang disengaja oleh seorang politisi yang kurang berpikir panjang.

Jadi, sebelum melangkah jauh dalam dunia pencitraan politik, pastikan sudah memahami dengan baik teori disonansi kognitif dan bagaimana cara membangun citra yang sesuai dengan kenyataan. Ingat, pencitraan bukan sekadar alat untuk mencapai tujuan, tapi juga proses yang harus dijalani dengan cermat dan hati-hati. Jangan sampai pencitraan yang dibangun malah membuat Anda terjebak dalam labirin ketidaknyamanan yang justru merusak citra Anda sendiri. Pencitraan yang dipaksakan, tak lebih dari sebuah harakiri paling disengaja yang dilakukan seorang politisi.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More