lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Editorial ini ditulis, karena ada yang terasa janggal di ruang-ruang birokrasi pemerintah daerah Kota Tasikmalaya. Seolah ada konspirasi diam-diam yang membungkam suara wartawan, bukan dengan larangan resmi, tapi dengan cara yang lebih licik—didiamkan!
Senin, 26 Mei 2025, Redaksi Lintas Priangan secara resmi telah mengirim laporan pengaduan mengenai beberapa SKPD yang ogah menanggapi kegiatan jurnalistik. Ada lima SKPD yang kami adukan, antara lain: Bappelitbangda, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Perwaskim dan Dinas Sosial. Tentu dengan harapan besar, semoga ada langkah yang diperbuat Inspektorat. Namun, hingga tinta ini mengering, tak secuil pun respon terdengar dari Inspektorat. Sunyi. Seolah-olah laporan itu tak pernah ada. Atau lebih menyakitkan: dianggap tidak penting.
Inspektorat, Lembaga Pengawas atau Sekadar Pelengkap?
Mungkin ada yang perlu diingatkan. Bahwa Inspektorat bukan sekadar pelengkap struktur organisasi. Bukan hanya tempat parkir orang-orang yang “tak enak” ditaruh di tempat lain. Ia punya mandat serius: menjadi pengawas internal yang menjaga agar SKPD tidak menyimpang dari rel aturan.
Tapi bagaimana kalau justru pengawasnya yang abai? Apa jadinya kalau petugas penjaga gerbang justru asyik bermain catur? Maka jangan salahkan maling ketika gampang melenggang.
UU Pers, Bukan Dekorasi Hukum
Dalam Pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, ditegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah bagian dari hak asasi. Negara—termasuk SKPD di dalamnya—wajib menghormatinya. Ketika ada SKPD yang bersikap seperti benteng tertutup, yang menolak disorot, dikritik, bahkan sekadar ditanya, itu sudah menjadi alarm. Dan ketika laporan itu dikirim ke Inspektorat lalu dibiarkan begitu saja, maka alarm itu berubah jadi kebobrokan sistemik.
Ini bukan soal satu-dua dinas. Ini soal sistem. Soal bagaimana keterbukaan informasi yang semestinya menjadi wajah modern birokrasi, malah dijadikan tirai yang bisa dibuka-tutup sesuka hati.
Sungguh, kami tak berharap Inspektorat menjadi superhero yang turun tangan ke lapangan membawa sorotan kamera. Kami hanya berharap mereka menjalankan fungsi dasarnya: merespons aduan, mengevaluasi, dan jika perlu, menegur. Terlalu berlebihan kah dengan permintaan itu? Bukankah belasan milyar anggaran disalurkan untuk menjalankan tugas dan fungsi tersebut? Atau terlalu mungil kah nyali para Inspektur untuk sekedar menegur kepala SKPD?
Laporan dari media adalah bagian dari fungsi kontrol sosial. Bukan gangguan. Bukan ancaman. Ketika itu tak dianggap serius, maka pertanyaannya bukan lagi kenapa SKPD bisa abai—melainkan: siapa yang sebenarnya memberi mereka ruang untuk itu?
Jika Inspektorat tak bergerak, maka wajar ketika SKPD mulai merasa tak perlu menjelaskan apa-apa kepada publik. Tak perlu buka data. Tak perlu bicara. Tak perlu menjawab. Sebab toh, tak ada yang menegur. Tak ada yang mengawasi. Tak ada yang benar-benar peduli.
Dan kalau sistem ini terus dibiarkan, kita tak lagi hidup dalam birokrasi yang sehat, melainkan dalam hutan belantara kekuasaan administratif. Yang kuat makin kuat. Yang bertanya dianggap pengganggu. Dan media? Dibiarkan menjerit di ruang hampa.
Wahai Inspektorat, jika Anda masih punya hati dan nyali, bacalah laporan yang selama ini Anda abaikan. Lihat bagaimana institusi yang Anda awasi bersembunyi di balik meja, menolak bicara, menutup akses informasi. Bertindaklah. Bekerjalah. Setidaknya agar kami tak harus menulis editorial yang sama tahun depan, dengan judul yang lebih pahit: “Inspektorat: Masih Mati Suri atau Mati?”
Sebisu apapun Inspektorat, kami akan terus cerewet. Bukan karena kami benci, tapi karena kami percaya, media harus menjalankan tugas sebagai watchdog. Karena ketika pengawasan lemah, ancamannya sudah pernah disampaikan ratusan tahun silam, oleh Lord Acton, seorang sejarawan Inggris dalam surat yang ia kirim pada Bishop Mandell Creighton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely“, (Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak pasti korup), Selasa, 5 April 1887.