Tajuk

Gerakan Ayah Mengambil Rapor, Seriusan Ide Menteri?

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Di negeri yang masalah pengasuhannya kian kompleks, negara justru datang dengan gagasan yang terasa ringan, mungkin lebih ringan dari segenggam kapas. Gerakan Ayah Mengambil Rapor. Sebuah kebijakan yang terdengar hangat, mudah disukai, dan tampak penuh kepedulian. Tapi justru karena terlalu mudah dicerna, ia layak dikunyah ulang. Seriusan ini ide seorang menteri?

Menteri tentu tidak keliru saat menyebut pentingnya peran ayah dalam tumbuh kembang anak. Tak ada perdebatan di sana. Ilmu psikologi, sosiologi, bahkan ilmu agama dan pengalaman sehari-hari sepakat: kehadiran ayah itu sangat penting. Tapi yang jadi soal, negara memilih jalan paling dangkal untuk mengeksekusi gagasan sedalam itu.

Mengambil rapor adalah aktivitas administratif. Datang ke sekolah, duduk sebentar, mendengar penjelasan guru, menandatangani, lalu pulang. Rata-rata tak sampai setengah jam. Dilakukan dua kali setahun. Apa mungkin setiap ayah bisa bicara banyak dengan wali kelas? Tentu mustahil. Akan ada puluhan ayah yang datang dan duduk bersamaan. Jika ini disebut strategi meningkatkan peran ayah, maka negara sedang mereduksi relasi ayah-anak menjadi sekadar urusan tanda tangan dan stempel.

Pertanyaannya bukan apakah ayah perlu hadir. Pertanyaannya: hadir yang seperti apa?
Hadir sebagai siapa?
Dan hadir dengan dampak sejauh mana?

Negara seolah berasumsi, masalah absennya ayah cukup diatasi dengan surat edaran. Padahal kenyataannya jauh lebih ruwet. Banyak ayah tidak hadir bukan karena malas, melainkan karena jam kerja panjang, tekanan ekonomi, atau budaya yang sejak lama menempatkan pengasuhan sebagai urusan ibu. Ada pula ayah yang ingin terlibat, tapi sistem kerja tidak memberi ruang. Semua ini tidak disentuh oleh kebijakan ambil rapor.

Lebih dari itu, kebijakan ini terasa abai pada realitas sosial yang tidak bisa dianggap sepele. Ada jutaan anak Indonesia tumbuh tanpa ayah. Ada yang yatim, ibunya ditinggal cerai, atau ayahnya hadir secara biologis tapi absen secara emosional. Di sekolah-sekolah, mereka duduk di bangku yang sama, belajar pelajaran yang sama, tapi membawa beban hidup yang berbeda.

Ketika negara mempromosikan kehadiran ayah sebagai norma tanpa sensitivitas, sekolah berisiko berubah menjadi ruang perbandingan yang senyap tapi menyakitkan. Ada anak yang rapornya diambil ayah, ada yang diwakili ibu, kakek, atau wali. Negara mungkin melihat foto-foto kebahagiaan. Anak-anak tertentu justru menelan kehilangan yang kembali diresmikan.

Ironisnya, negara tampak begitu percaya diri, dan seolah-olah sudah menemukan inovasi berkelas dunia. Seolah kehadiran ayah di satu momen bisa menebus ketidakhadiran di ratusan momen lain yang lebih krusial, misal saat anak belajar, saat anak gagal, saat anak butuh didengar. Rapor adalah hasil akhir. Relasi ayah-anak dibentuk jauh sebelum angka-angka itu tercetak di atas kertas.

Di negara-negara yang serius membangun kualitas keluarga, kebijakan mereka tidak dangkal. Mereka mengubah sistem. Misalnya, agar cuti ayah sesuai kebutuhan anak, adanya fleksibilitas jam kerja, insentif bagi perusahaan ramah keluarga, hingga pendidikan pengasuhan yang menyasar laki-laki. Fokusnya bukan pada seremoni, melainkan keberlanjutan, dan tentu saja kualitas!

Di sini, kita cenderung sebaliknya. Kebijakan dibuat agar mudah dipuji, tapi lemah saat diuji. Mudah dikampanyekan, bukan diukur dampaknya. Negara terlihat sibuk, padahal yang dikerjakan sering kali hanya permukaan.

Gerakan Ayah Mengambil Rapor akhirnya lebih menyerupai pesan moral ketimbang kebijakan publik. Ia mengingatkan, tapi tidak memampukan. Ia mengajak, tapi tidak membongkar penghalang. Ia terasa hangat, tapi cepat basi setelah agenda selesai.

Yang lebih mengkhawatirkan, ini keluar dari kepala seorang menteri. Dan ini bukan kasus yang pertama kali. Negara kerap terjebak pada kebijakan bercangkang: keras di luar, kosong di dalam. Tampak peduli, tapi enggan menyentuh akar. Serius di judul, setengah hati di isi.

Dan di sinilah letak persoalan besarnya. Negeri ini tidak akan pernah melesat jika kebijakannya terus bermain di wilayah aman, simbolik, dan seremonial. Kita sibuk mengatur pose, lupa membangun fondasi. Kita merayakan visual, karena ingin menghindari kerja berat. Kita puas dengan kesan, bukan perubahan.

Membangun bangsa tidak cukup dengan kebijakan yang enak difoto. Ia butuh kebijakan yang berani membuat tidak nyaman. Berani merombak sistem kerja, budaya lama, bahkan merombak negara itu sendiri. Selama para pengambil kebijakan di negeri ini lebih memilih mengilapkan cangkang ketimbang mengisi substansi, selama itu pula kita akan terus memproduksi kebijakan yang terdengar manis, tapi rapuh saat diuji.

Gerakan Ayah Mengambil Rapor mungkin menyentuh perasaan. Sekali lagi, itu juga mungkin. Entah perasaan siapa yang tersentuh. Jangan-jangan hanya perasaan menteri. Tapi masa depan anak-anak Indonesia tidak ditentukan oleh perasaan sesaat. Ia ditentukan oleh keberanian negara berhenti main-main, keluar dari cangkang, dan benar-benar bekerja di inti persoalan. Tanpa itu, kita hanya sedang mendidik diri sendiri untuk puas pada kebijakan dangkal, yang mustahil cukup untuk membawa negeri ini maju.

Related Articles

Back to top button