Tajuk

Bercermin dari Bekasi, Ketika Akhirnya KPK Beraksi di Daerah

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Operasi tangkap tangan di Kabupaten Bekasi kembali mengingatkan publik pada satu hal yang sebenarnya sudah lama diketahui, tetapi kerap diabaikan: korupsi di daerah bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Ia tumbuh pelan, menumpuk, lalu suatu hari meledak—biasanya ketika Komisi Pemberantasan Korupsi datang membawa borgol.

OTT yang menyeret Bupati Bekasi, dengan barang bukti uang tunai ratusan juta rupiah dan dugaan suap proyek, sejatinya bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Penyegelan rumah Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi dalam rangkaian perkara yang sama semakin memperjelas bahwa kasus ini bukan sekadar soal individu, melainkan tentang ekosistem kekuasaan di daerah yang terlalu lama dibiarkan nyaman.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang ditangkap. Pertanyaan yang lebih penting justru: mengapa baru sekarang?

Di tingkat kabupaten dan kota, indikasi korupsi sesungguhnya bukan barang langka. Setiap tahun, laporan auditor memuat catatan-catatan berulang: pengelolaan anggaran yang tidak tertib, proyek yang bermasalah, kelebihan bayar, hingga belanja yang sulit dipertanggungjawabkan. Di luar itu, pengaduan masyarakat terus berdatangan, kajian media dan lembaga swadaya masyarakat dipublikasikan, bahkan mahasiswa turun ke jalan membawa data.

Namun, semua itu sering berhenti sebagai dokumen. Arsip rapi, tetapi sepi tindak lanjut.

Dalam konteks itu, pernyataan Jaksa Agung yang pernah menyebut, “Bohong kalau di daerah tidak ada korupsi,” terasa bukan sebagai pengakuan keberanian, melainkan sebagai cermin besar yang seharusnya membuat wajah institusi yudikatif memerah. Jika korupsi memang ada, lalu mengapa penindakan di daerah begitu jarang terdengar? Sampai kemudian KPK harus keluar kandang.

Kasus Bekasi memberi satu pelajaran penting: diamnya penegakan hukum lokal sering kali bukan karena ketiadaan data, melainkan ketiadaan keberanian. Aparat penegak hukum di daerah hidup berdampingan dengan kekuasaan eksekutif, dalam ruang sosial yang sama, dengan relasi yang kerap terlalu dekat untuk disebut sepenuhnya profesional. Dalam situasi seperti itu, konflik kepentingan bukan sekadar potensi, melainkan risiko nyata.

Penyegelan rumah Kepala Kejaksaan Negeri Bekasi, terlepas dari konstruksi hukum yang masih didalami, menjadi simbol yang kuat. Publik tak bisa tidak bertanya: bagaimana pengawasan internal bekerja, jika penegak hukum sendiri akhirnya ikut terseret pusaran perkara yang sama? Siapa mengawasi pengawas, ketika jarak antar lembaga semakin menipis?

Kehadiran KPK dalam kasus-kasus seperti ini sering disambut sebagai kabar baik. Namun, bagi daerah, itu seharusnya menjadi alarm, bukan prestasi. KPK bukan lembaga yang dirancang untuk mengurus seluruh persoalan korupsi di kabupaten dan kota. Ia adalah pilihan terakhir, pemadam kebakaran ketika api sudah terlanjur membesar.

Jika setiap kasus besar baru bergerak setelah KPK datang, itu menandakan satu hal yang pahit: mekanisme pengawasan dan penegakan hukum di daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Aparat ada, kewenangan ada, regulasi lengkap—tetapi inisiatif seolah menunggu momentum, menunggu sorotan, atau menunggu “izin situasi”.

Bekasi, dalam hal ini, tidak layak dijadikan kambing hitam. Ia lebih tepat diposisikan sebagai cermin. Apa yang terjadi di sana sangat mungkin juga terjadi di daerah lain, hanya belum tersentuh atau belum terbuka. Hari ini Bekasi, besok bisa nama lain—tergantung seberapa lama sebuah daerah memilih menutup mata.

Tulisan ini bukan vonis, melainkan peringatan. Untuk para kepala daerah, bahwa jabatan politik bukan perisai kebal hukum. Untuk aparat penegak hukum di daerah, bahwa diam terlalu lama bisa berubah menjadi bagian dari masalah. Dan untuk semua pemangku kekuasaan, bahwa indikasi yang dibiarkan menumpuk suatu hari akan mencari jalannya sendiri ke permukaan.

Pada akhirnya, korupsi di daerah bukan semata soal siapa yang mencuri, tetapi tentang siapa yang memilih tidak bertindak. Jika penegakan hukum hanya hidup ketika KPK datang dari Jakarta, maka yang sedang kita rawat bukan pemerintahan yang bersih, melainkan ilusi bahwa semuanya baik-baik saja—sampai suatu pagi, pintu diketuk lebih keras dari biasanya.

Dan saat itu terjadi, tak ada lagi yang bisa berpura-pura terkejut.

Related Articles

Back to top button