Tajuk

Pernyataan Ambigu BKPSDM Tasikmalaya

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Dalam birokrasi modern, kata asesmen sering terdengar sakral. Ia diucapkan dalam forum resmi, ditulis dalam dokumen kebijakan, dan dijadikan penanda bahwa sebuah keputusan telah melalui proses objektif. Namun ketika maknanya tidak dipahami secara utuh, asesmen justru berisiko berubah dari alat ukur menjadi sekadar simbol administratif.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asesmen adalah proses penilaian untuk mengetahui keadaan, kemampuan, atau pencapaian seseorang atau sesuatu. Definisi ini menegaskan bahwa asesmen bukan sekadar hasil akhir, melainkan proses menyeluruh yang bertujuan memahami kecocokan.

Secara etimologis, asesmen berasal dari kata assessment, yang berakar pada bahasa Latin assidere, yang artinya “duduk di samping”. Filosofinya sederhana, bahwa menilai itu berarti hadir, harus dekat, dan memahami secara langsung, bukan sekadar membaca ringkasan atau melihat angka.

Persoalan muncul ketika makna ideal tersebut bertemu dengan praktik dan pernyataan pejabat publik.

Kepala BKPSDM Kota Tasikmalaya menyatakan bahwa pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi dilakukan berdasarkan akumulasi kinerja, hasil asesmen, potensi, kompetensi, rekam jejak jabatan, golongan, hingga pengalaman pendidikan dan pelatihan kepemimpinan. Pernyataan ini, secara normatif, terdengar sangat ideal dan selaras dengan prinsip sistem merit.

Jika berhenti di sini, publik mungkin akan mengangguk setuju. Namun persoalan tidak berhenti pada satu pernyataan.

Ketika Asesmen Masih Menyisakan “Nanti Dievaluasi”

Di bagian lain dalam sumber yang sama, Kepala BKPSDM juga mengatakan:
“Bisa saja seseorang pintar dan kinerjanya bagus, tapi tidak cocok di jabatan tertentu. Itu akan dievaluasi.” (sumber: radartasik.id)

Kalimat ini sepintas terdengar wajar. Namun dalam kerangka manajemen talenta, pernyataan tersebut justru menimbulkan tanda tanya besar. Jika asesmen telah dilakukan untuk mengukur potensi, kompetensi, dan kecocokan jabatan, maka ketidakcocokan seharusnya terdeteksi sebelum penempatan, bukan setelahnya.

Asesmen dirancang untuk bersifat menggali kecocokan dan mencegah kesalahan sejak awal. Ketika alasan “tidak cocok” baru muncul setelah jabatan diisi, publik berhak bertanya: apakah asesmennya yang kurang tajam, ataukah hasilnya tidak sepenuhnya dijadikan dasar keputusan?

Di titik ini, asesmen berisiko dipahami hanya sebagai prosedur awal yang bisa “dikoreksi” kemudian. Padahal, koreksi pascapenempatan seringkali menimbulkan biaya sosial, organisasi, dan kepercayaan publik yang tidak kecil. Ini juga berarti, asesmen yang dilaksanakan, justru tidak selaras dengan makna etimologisnya.

Tentunya, bukan berarti konsep asesmen itu sempurna. Namun, kalau yang jadi masalahnya adalah kecocokan, ini jelas luar biasa salahnya. Karena asesmen itu justru mencari kecocokan. Terkecuali, jika evaluasi dilakukan untuk hal lain selain kecocokan. Misalnya, disiplin, kondite kerja, dan sebagainya. Yang penting bukan kecocokan.

Tiga Nama, Satu Keputusan, dan Perang Bisikan

Masalah lain muncul ketika Kepala BKPSDM menjelaskan mekanisme pengambilan keputusan:
“Tugas kami mengajukan tiga nama. Pak Wali yang memilih. Itu mekanisme yang berlaku.”

Secara struktural, pernyataan ini benar. BKPSDM menjalankan fungsi teknis, melakukan asesmen dan mengajukan kandidat, sementara keputusan akhir berada di tangan kepala daerah. Namun di sinilah muncul persoalan konseptual.

Kepala daerah tidak terlibat langsung dalam proses asesmen teknis. Ia tidak mengikuti dinamika penilaian, tidak menguji instrumen, dan tidak “duduk di samping” proses asesmen sebagaimana makna asal kata tersebut. Namun, keputusan strategis justru harus diambil olehnya.

Dalam ruang kosong antara data teknis dan keputusan politik itulah potensi masalah muncul. Ketika pengambil keputusan tidak sepenuhnya melekat pada proses asesmen, maka faktor non-teknis berpotensi masuk. Dari sinilah bisikan menemukan celahnya.

Ujung-ujungnya, kekuatan bisikan menemukan panggungnya.
Dari bisikan trio macan hingga bisikan lima sekawan.
Sementara hasil murni asesmennya ke mana?
Entahlah.

Dalam sistem merit, asesmen seharusnya menjadi jangkar keputusan. Ia bukan sekadar salah satu pertimbangan, melainkan fondasi. Ketika asesmen masih harus “dikoreksi” oleh evaluasi pascapenempatan atau dilewati oleh mekanisme non-teknis, maka fungsinya melemah.

Asesmen yang tidak mengikat pada akhirnya hanya menjadi dekorasi kebijakan. Ada asesmen, tapi tidak menentukan.

Skeptisisme yang Sampai ke Mahkamah Konstitusi

Keraguan terhadap sistem merit ternyata tidak hanya tumbuh di ruang publik. Mahkamah Konstitusi pernah menegaskan pentingnya pengawasan independen dalam pelaksanaan sistem merit ASN. Pesannya jelas: tanpa pengawasan yang kuat, sistem merit rawan menjadi formalitas belaka.

Baca juga: Memangnya Ada yang Percaya Sistem Merit? MK pun Tidak!

Jika di tingkat konstitusional saja sistem merit dipandang perlu diawasi ketat, maka wajar bila publik di daerah mempertanyakan implementasinya, terutama ketika pernyataan para pejabatnya sendiri terasa tidak sepenuhnya sejalan antara konsep dan praktik.


Pada akhirnya, sistem merit bukan hanya soal mekanisme, melainkan soal niat dan integritas. Ia akan kehilangan makna jika keputusan lebih banyak ditentukan oleh bisikan ketimbang hasil penilaian.

Maka pertanyaan ini layak diarahkan kepada para pengambil kebijakan, bukan untuk dijawab di mimbar, tetapi direnungkan di ruang paling sunyi:
sudahkah sistem merit benar-benar dijalankan sesuai aturan, tanpa pengaruh kepentingan dan bisik-bisik di balik layar?

Sebab jabatan bukan hanya urusan hari ini, dan keputusan bukan sekadar soal administrasi. Apa yang ditetapkan dengan sadar akan dimintai pertanggungjawaban—bukan hanya di hadapan publik, tetapi juga di hadapan nurani, dan di hadapan Yang Maha Mengetahui.

Related Articles

Back to top button