Posisi KDM sebagai Gubernur Tak Akan Sampai 5 Tahun

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Bandung, 16 Mei 2025 — Meski telah resmi dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat periode 2025-2030, banyak pihak meragukan masa jabatan Dedi Mulyadi (KDM) bakal berlangsung penuh lima tahun. Beberapa faktor krusial menempatkan KDM pada posisi yang rawan dan penuh tantangan, yang bisa saja memaksanya angkat kaki sebelum masa jabatan berakhir.

1. Manajemen Konflik yang Tak Mumpuni, Buka Banyak Front

Membangun citra di akar rumput memang keahlian KDM yang sudah teruji. Namun, manajemen konflik politiknya justru memunculkan masalah. KDM tak segan membuka front dengan sejumlah elemen penting, termasuk PDIP, sebagian kalangan ulama, dan Ormas GRIB. Belum lagi dengan entitas pendidikan dan pariwisata terkait larangan studi tour, atau penjegalan budaya THR yang banyak membuat lsm dan ormas nyinyir. Padahal, merangkul mereka justru menjadi kunci stabilitas politik Jawa Barat.

Ketegangan dengan PDIP, misalnya, yang merupakan partai besar di DPRD Jawa Barat, jelas berisiko menimbulkan gesekan politik yang berkepanjangan. Sementara ketidaksenangan sebagian ulama dan ormas bisa berakibat fatal dalam konteks Jawa Barat yang sangat religius dan kultural. Bukannya meredam, KDM malah memicu konflik, yang bisa menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.

2. Kebijakan Buru-buru yang Mengundang Polemik

Belum lama ini, KDM menjadi sorotan setelah dengan gegabah memberikan bantuan kepada seorang ibu yang mengaku korban kebakaran di Pasar Manis Ciamis. Ternyata, setelah pemeriksaan lebih lanjut, ibu tersebut bukan korban yang layak mendapat bantuan. Contoh kecil ini mencerminkan pola pengambilan keputusan KDM yang terkesan terburu-buru dan kurang koordinasi.

Padahal, jika KDM sedikit bersabar dan berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ciamis, kekeliruan ini bisa dihindari. Selain itu, kebijakan kontroversial lain seperti mengirim “anak nakal” ke barak dan menetapkan vasektomi sebagai syarat penerima bansos juga menimbulkan keributan sosial dan menimbulkan keraguan atas efektivitas program tersebut. Program-program ini masih baru dan belum terbukti berhasil, tapi sudah menimbulkan kegaduhan yang berpotensi merusak citra pemerintahan KDM.

3. Dukungan Masyarakat Tak Lebih dari 40%

Meskipun secara resmi KDM memenangkan Pilgub Jabar 2024 dengan persentase suara 62,22% dari total suara sah, dukungan sebenarnya terhadap total Daftar Pemilih Tetap (DPT) jauh lebih rendah, hanya sekitar 39,55%. Dari total DPT sebanyak 35.714.901 pemilih, hanya 14.130.192 yang memilih KDM.

Artinya, lebih dari 60% pemilih terdaftar di Jawa Barat tidak mendukung KDM secara langsung, baik karena memilih kandidat lain ataupun golput. Dengan tingkat partisipasi pemilih yang hanya 65,97%, dan golput yang mencapai 34,03%, posisi politik KDM sebenarnya tidak sekuat angka kemenangan yang terlihat pada hasil suara sah.

Sumber data: KPU Jawa Barat, Detik

Bukan mustahil, tren dukungan KDM sebetulnya sedang merosot karena harus sekarang berkonfrontasi dengan entitas pendidikan dan pariwisata, LSM dan ormas, pun dengan industri pers. Angka dukungan yang pada awalnya tak lebih dari 40%, entah tinggal berapa yang tersisa. Demam KDM justru merambah ke luar Jabar, yang secara strategis sebetulnya tidak memiliki dampak politis yang langsung untuk kiprah KDM di Jawa Barat.

4. Sinyal Ditarik Prabowo ke Pusat

Kabar dari lingkaran politik menyebutkan, KDM tidak sepenuhnya independen. Ada sinyal kuat bahwa Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, menempatkan KDM sebagai “perwakilan” atau “taruhan” partai di Jawa Barat yang akan segera dipanggil ke pusat jika situasi politik membutuhkan. Posisi ini jelas membuat KDM rentan terhadap dinamika politik nasional dan perintah partai yang bisa saja mengubah arah karir politiknya secara tiba-tiba.

5. Demam KDM yang Bisa Jadi Pedang Bermata Dua

Popularitas KDM di kalangan masyarakat memang sedang naik daun, bahkan bisa disebut demam KDM. Namun, dalam partai besar seperti Gerindra, perhatian khusus pasti mengawasi setiap potensi rival atau figur yang bisa mengancam posisi elite.

Selama KDM “bermain aman” dan tidak mengancam kepentingan pusat, dia bisa bertahan. Namun, jika suatu saat dianggap “offside” atau berani menyaingi Prabowo atau elite partai lain, bukan tidak mungkin KDM harus “dikorbankan”. Dalam politik Indonesia, terutama di partai yang terstruktur ketat seperti Gerindra, hal ini bukan cerita baru.

Kesimpulan

Dengan manajemen konflik yang belum matang, kebijakan yang kontroversial dan terkadang gegabah, dukungan masyarakat yang sebenarnya di bawah 40% dari DPT, serta dinamika politik partai yang kompleks, sangat realistis jika masa jabatan KDM sebagai Gubernur Jawa Barat tidak akan sampai lima tahun penuh.

KDM harus pandai memainkan politik dalam dan menjaga hubungan baik dengan berbagai elemen agar dapat bertahan. Jika tidak, posisi “gubernur 5 tahun” bisa berubah menjadi “gubernur singkat,” dengan berbagai kemungkinan pergeseran kekuasaan yang bisa terjadi sewaktu-waktu.

Terlepas akan kemana arah yang akan ditempuh KDM, apakah melesat ke pusat dipanggil Prabowo, atau justru berkeringat hebat menghadapi seteru yang bersatu, jika gaya kepemimpinannya masih seperti ini, sangat mungkin posisi KDM sebagai gubernur tak akan sampai 5 tahun. (Lintas Priangan)

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More