Anggaran Pemkot Tasik Dipangkas 18,5%? Tenang, Potensi Kebocorannya Juga kan 53%!

lintaspriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Pemerintah Kota Tasikmalaya harus menghadapi kenyataan pahit setelah alokasi Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat dipangkas sebesar Rp219 miliar, atau setara dengan 18,5 persen dari total anggaran. Pemangkasan ini bukan hanya terjadi di Tasikmalaya, melainkan di hampir seluruh daerah di Indonesia dengan kisaran 20 hingga 30 persen.
Pemangkasan TKD ini dilakukan pemerintah pusat dalam rangka pengetatan fiskal sekaligus penyesuaian alokasi belanja negara. Tak pelak, pemerintah daerah dituntut lebih berhati-hati dalam menyusun prioritas anggaran.
Wali Kota Tasikmalaya Viman Alfarizi Ramadhan menyebutkan, pihaknya akan menerapkan berbagai strategi penyesuaian. Mulai dari perencanaan yang lebih matang, efisiensi belanja, hingga pembatasan pos-pos pengeluaran aparatur. “Kami akan melakukan penyesuaian dengan tetap memastikan program prioritas untuk masyarakat berjalan,” ujarnya, sebagaimana dilansir di berbagai media, Rabu (01/10/2025).
Namun, menurut peminat masalah sosial pemerintahan, pemangkasan tersebut seharusnya tidak terlalu berdampak signifikan.
BPK: Ketidakefektifan Anggaran Capai 53,95%
Peminat masalah sosial pemerintahan, Diki Samani, menilai pemangkasan sebesar Rp219 miliar itu justru bisa menjadi momentum perbaikan manajemen keuangan daerah. Ia menegaskan, potongan 18,5% seharusnya tidak akan berpengaruh besar selama pemerintah kota mau transparan dan punya keberanian menutup kebocoran anggaran.
“Fahami dulu, pemangkasan ini dilakukan bukan untuk memangkas anggaran yang efektif, tapi untuk menekan potensi kebocoran. Tahun 2023 lalu, BPK pernah menyatakan, ketidakefektifan anggaran pemerintah daerah itu mencapai 53,95 persen. Artinya, lebih dari separuh anggaran daerah itu menguap tidak jelas. Jadi kalau cuma dipotong 18,5 persen, sama sekali tidak perlu cemas,” ujar Diki.
Ia menyoroti beberapa contoh mata anggaran yang selama ini kerap jadi sumber kebocoran. “Perjalanan dinas, terutama di DPRD, besar sekali itu, harus dihabisi itu. Berani nggak? Lalu praktik bancakan pokir juga harus dievaluasi, karena konsep pokir itu sebenarnya berbasis prioritas, bukan sekadar bagi-bagi alas. Selanjutnya, ini termasuk yang parah, misalnya pembelanjaan ATK dan konsumsi rapat. Contoh sederhana, pembelian tinta printer. Masa ada kelurahan kecil bisa belanja isi ulang tinta sampai belasan kali setahun? Apa dikira warga tidak ada yang tahu kalau satu botol tinta refill Epson itu kapasitas cetaknya bisa sampai 7000 lembar?” ujarnya.
Menurutnya, celah seperti itu seharusnya bisa ditutup dengan mekanisme pengawasan teknis. “Misalnya ya, contoh tentang belanja refill tinta printer yang terjadi di semua kantor. Andai setiap nomor serial botol refill-nya direkap, saya sangat yakin akan banyak terbongkar itu akal-akalan. Begitu juga belanja kertas, pulpen, amplop, fotokopi, dan penjilidan. Nilai belanjanya relatif kecil-kecil tapi masif dan kompak, kalau dikumpulkan nilainya fantastis,” tambahnya.
Ubah Pola Belanja: Dari Output ke Outcome
Selain menutup kebocoran, Diki menekankan pentingnya perubahan orientasi belanja pemerintah daerah. Menurutnya, Pemkot Tasikmalaya jangan hanya berfokus pada laporan keuangan, melainkan harus mengukur dampak setiap rupiah yang dikeluarkan.
“Misalnya ada Rp2 miliar, lebih penting dipakai melanjutkan pembangunan rumah dinas wali kota atau mempercepat penanganan pencemaran TPA Ciangir? Ukur dampaknya. Bukan hanya sekadar output, tapi outcome. Itu yang harus menjadi dasar,” katanya.
Ia menegaskan, belanja anggaran publik harus diukur dari manfaat sosial, bukan sekadar pemenuhan target serapan anggaran. “Jangan hanya pinter bikin laporan, tapi harus bisa menunjukkan sebesar apa manfaatnya bagi masyarakat. Selama ini pada pinter bikin perencanaan dan realisasi, ratusan milyar uang negara di bawah pengelolaan pemda, tapi ujung-ujungnya RSUD terancam bangkrut. Ini contoh nyata, pengelolaan anggaran tidak berbasis outcome. Pinter ngabisin doang, tapi benefitnya entah kemana,” tegasnya.
Momentum Perubahan
Bagi Diki, pemangkasan TKD harus dilihat sebagai pemicu perbaikan, bukan sekadar masalah. “Pemangkasan ini justru harus jadi momentum bagi Wali Kota untuk menerapkan manajemen anggaran yang berintegritas. Kalau dua hal tadi dilakukan—membongkar kebocoran dan menetapkan prioritas—maka pemangkasan 18,5 persen tidak akan berdampak signifikan,” pungkasnya.
Dengan demikian, pemangkasan Rp219 miliar bagi Pemkot Tasikmalaya seharusnya menjadi titik balik dalam mengelola anggaran. Jika kebocoran bisa ditutup, maka ruang fiskal yang lebih sehat justru bisa tercipta meski anggaran dari pusat berkurang. (DH)




