Selamat Datang di Negeri Kumaha Aing

lintaspriangan.com, OPINI. Di sebuah wilayah yang memesona, tempat gunung, danau, teh, dan tradisi saling menyapa hidup berdampingan, terpilihlah seorang pemimpin yang tidak ingin disebut raja—tapi bersikap laiknya raja. Ia tidak tinggal di istana, tapi saat blusukan selalu disambut seperti tokoh legenda. Ia, tipe pemimpin yang tak doyan rapat, tak perlu musyawarah pembangunan, cukup datang, dengar curhat, bagi sembako, lalu pulang dengan sejuta like. Gaya kepemimpinannya? Bisa disebut neo-monarki digital—berkuasa lewat layar, memerintah lewat feed, dan berkoordinasi lewat caption.

Rakyat menyambutnya bak penyembuh luka bangsa. Ia datang membawa pelukan. Bukan menghapus kemiskinan, tapi menghibur penderitaan. Bahkan ketika beberapa pimpinan wilayah di bawahnya kebingungan karena tidak diajak koordinasi, sang pemimpin malah sibuk memediasi konflik rumah tangga warga. Dari urusan drainase ke drama rumah tangga, dari kebijakan ke curhat janda tua—tidak ada jarak yang tidak bisa ia tempuh demi konten berkualitas.

Inilah pemimpin yang lebih sering muncul di FYP ketimbang di rapat kerja.
Bagi dia, koordinasi itu overrated. Bukankah lebih asyik jadi content creator ketimbang jadi pimpinan daerah yang harus berjibaku dengan RKPD dan RPJMD? Lagi pula, mengurus rakyat via konten itu jauh lebih cepat viral dibandingkan mengurus rakyat lewat musyawarah dusun dan telaah staf. Birokrasi membosankan. Tapi TikTok? Baginya ibarat medan perjuangan. Camera, Action!

Sosiolog Amerika, Robert Putnam, menyebut bahwa kualitas pemerintahan ditentukan oleh social capital—kepercayaan antaraktor, jaringan yang kuat, dan sistem yang transparan. Namun, tampaknya pemimpin yang satu ini beda, ia memiliki modal sosial versi lain: algoritma, angle kamera, dan background musik sendu. Di tangan beliau, penderitaan rakyat menjadi reel, kemiskinan menjadi story, dan suara tangis emak-emak menjadi bahan konten dengan sentuhan efek suara piano galau.

Para panglima dan pejabat lain mengeluh: susah ditemui, sulit diajak koordinasi, surat permohonan bantuan tidak dibalas, bahkan undangan rapat strategis pun tak dihadiri. Tapi jangan salah sangka—bukannya beliau tak bekerja, beliau hanya sibuk shooting. Roda pemerintahan boleh tersendat, tapi feed Instagram harus tetap lancar.

Dalam kondisi seperti ini, birokrasi kemudian berada di titik krusial: terjebak antara logika administrasi dan logika viralitas. Di satu sisi, pembangunan butuh perencanaan, tata kelola, evaluasi berbasis data. Di sisi lain, narasi personal lebih cepat menjangkau hati publik.

Menurut Max Weber, ada tiga tipe kekuasaan: legal-rasional (berbasis hukum), tradisional (berbasis adat), dan kharismatik (berbasis pesona pribadi). Pemimpin yang satu ini tak masuk tiga kategori itu. Weber hidup lebih dulu, teorinya jadul. Sekarang ada tipe pemimpin keempat, jadi kategori baru. Namanya kepemimpinan sinematik—yang kuat bukan di aturan, tapi di narasi visual. Ia menggabungkan estetika sinetron, etika sandiwara, dan logika reality show. Tidak peduli berapa seperti apa mekanisme dan prosedur pembangunan dibuat dan dilaksanakan, yang penting berapa engagement rate yang tercapai.

Bila kita hidup di masa Orde Baru, mungkin gaya begini akan dianggap dekaden. Tapi di era algoritma, ini justru dianggap “dekat dengan rakyat.” Kedekatan itu pun diukur bukan dari akses terhadap pelayanan publik, tapi seberapa sering muncul di beranda HP masyarakat.

Lucunya, di balik ini semua, ia kadang bicara dengan nada filosofis, kadang seperti juru dakwah, kadang seperti dalang dalam pentas wayang yang tahu segalanya. Tapi ya begitu. Tak ada musrenbang, yang ada wejangbang. Tak ada perencanaan, yang penting perasaan. Tak perlu KUA-PPAS, karena beliau lebih paham nasib rakyat lewat firasat.

Warga yang kritis mencoba bertanya: “Ke mana arah pembangunan provinsi ini?” Jawabannya mungkin bisa ditemukan di kolom komentar akun beliau, bukan di dokumen rencana strategis daerah.
“Kenapa tidak koordinasi dan komunikasi?” Karena rakyat lebih butuh pelukan daripada perbincangan.
“Kenapa tidak hadir di forum komunikasi dan koordinas?” Karena lebih penting hadir di hati rakyat.
Begitulah narasi baru kepemimpinan digital: tak usah repot jadi gubernur, cukup viral seperti gubernur.

Di tengah segala ini, para abdi negeri kebingungan, kepala daerah frustrasi, rakyat terbelah antara yang terhibur dan yang terbebani. Tapi semua tak bisa berbuat banyak, karena popularitas adalah perlindungan terbaik dalam demokrasi yang didominasi persepsi.

Selamat datang di “Negeri Kumaha Aing”. Di mana like lebih penting daripada laporan, dan feed lebih strategis daripada forum koordinasi. Sebuah wilayah yang kian memesona dalam narasi, dan terperangkap dalam badai coba-coba.

Penulis: Abu Ayyub | Redaktur Lintas Priangan

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More