lintaspriangan.com, INSPIRATIF. Di suatu pagi yang cerah pada 1974, di sebuah pulau terpencil di Filipina, seorang pria tua berpakaian lusuh keluar dari hutan lebat. Ia membawa senapan tua yang masih dalam kondisi baik, sebuah parang, serta beberapa butir amunisi. Ia melihat sekeliling dengan penuh waspada, seperti seseorang yang sedang berada dalam medan perang. Namun, perang yang ia pikir masih berlangsung sebenarnya telah berakhir hampir tiga dekade lalu.
Pria itu adalah Letnan Hiroo Onoda, seorang prajurit intelijen Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang telah bersembunyi di Pulau Lubang selama 29 tahun, karena meyakini bahwa Perang Dunia II masih belum berakhir.
Awal Misi di Pulau Lubang
Hiroo Onoda lahir pada 19 Maret 1922 di Jepang. Pada 1944, ketika Perang Dunia II memasuki tahun-tahun terakhirnya, ia dikirim ke Pulau Lubang, Filipina. Sebagai seorang perwira intelijen, tugasnya adalah melakukan operasi gerilya dan tidak boleh menyerah dalam keadaan apa pun. Sebelum dikirim ke sana, komandannya memberikan instruksi yang sangat jelas: “Apapun yang terjadi, kau tidak boleh menyerah. Kami akan kembali menjemputmu, tidak peduli berapa lama waktunya.”
Ketika Jepang akhirnya menyerah pada 15 Agustus 1945 setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, berita ini tidak sampai ke Onoda dan beberapa rekannya yang masih bertahan di hutan. Mereka terus melakukan perlawanan gerilya, menyerang desa-desa kecil dan menyergap pasukan Filipina yang mereka anggap masih sebagai musuh.
Tanda-Tanda Perang Sudah Berakhir
Seiring waktu, berbagai upaya dilakukan untuk memberi tahu Onoda bahwa perang telah usai. Selebaran dijatuhkan dari pesawat, mengumumkan bahwa Jepang telah menyerah dan mereka bisa kembali ke rumah. Namun, Onoda dan kelompoknya menganggap ini hanyalah propaganda musuh untuk memperdaya mereka.
Tahun demi tahun berlalu. Satu per satu rekannya tewas dalam pertempuran kecil dengan pasukan Filipina atau karena sakit. Pada akhirnya, hanya Onoda yang bertahan seorang diri. Ia hidup dengan berburu, mencuri makanan dari desa sekitar, dan tetap merawat senjata serta perlengkapannya dengan penuh disiplin militer.
Pada 1959, Pemerintah Jepang menyatakan Onoda resmi dinyatakan tewas. Namun, orang-orang yang mengenalnya tetap percaya bahwa ia masih hidup di dalam hutan.
Ditemukan oleh Seorang Petualang Jepang
Pada 1974, seorang pemuda Jepang bernama Norio Suzuki, yang berpetualang mencari “Letnan Onoda, panda, dan manusia salju”, melakukan perjalanan ke Pulau Lubang. Setelah beberapa hari mencari, ia akhirnya menemukan Onoda di dalam hutan.
Suzuki mencoba meyakinkan Onoda bahwa perang telah lama berakhir, tetapi Onoda tetap menolak percaya. Ia mengatakan bahwa ia hanya akan menyerahkan diri jika komandannya sendiri yang datang dan memerintahkan langsung.
Kabar tentang Onoda yang masih hidup sampai ke Jepang. Pemerintah Jepang akhirnya menemukan mantan komandannya, Mayor Yoshimi Taniguchi, yang kini sudah pensiun dan bekerja sebagai seorang pegawai sipil. Taniguchi dikirim ke Pulau Lubang dan secara langsung memberi perintah kepada Onoda untuk menyerahkan diri.
Kepulangan ke Jepang
Pada 9 Maret 1974, setelah 29 tahun bersembunyi, Hiroo Onoda akhirnya keluar dari hutan. Ia menyerahkan senjata dan perlengkapannya yang masih lengkap: sebuah senapan Arisaka, 500 butir peluru, beberapa granat tangan, serta sebilah pedang samurai yang ia bawa sejak 1944.
Ketika tiba di Jepang, ia disambut sebagai pahlawan, tetapi juga merasa terkejut. Dunia yang ia tinggalkan pada 1944 sudah sangat berbeda dengan dunia yang ia temukan di 1974. Jepang telah berubah menjadi negara yang damai dan modern, jauh dari bayangan perang yang selama ini ia percayai.
Kehidupan Setelah Bertahan di Hutan
Setelah kembali ke Jepang, Onoda sempat kesulitan beradaptasi. Ia pindah ke Brasil dan menjadi peternak, sebelum akhirnya kembali ke Jepang untuk mendirikan sekolah bertahan hidup bagi anak-anak muda.
Kisah Hiroo Onoda menjadi pengingat, jangan terlalu meyakini suatu hal, jika pengetahuan kita tentang hal tersebut masih sangat terbatas. Ia bertahan selama hampir tiga dekade untuk perang yang sebenarnya sudah berakhir, karena ia hanya percaya satu sumber, tanpa membuka diri terhadap sumber-sumber pengetahuan lainnya. (Lintas Priangan).