UMK Kota Tasikmalaya Rp2,9 Juta: Masih Jauh dari Hidup Layak

lintaspriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Penetapan UMK Kota Tasikmalaya tahun 2026 sebesar Rp2.980.336 memang membawa kabar kenaikan. Namun di balik angka itu, realitas kehidupan pekerja menunjukkan cerita yang berbeda. Jika disandingkan dengan standar biaya hidup layak dan potret pendapatan mayoritas pekerja—terutama sektor informal—UMK Kota Tasikmalaya masih menyisakan jarak yang lebar dari kata “cukup”.
Kenaikan UMK diputuskan melalui mekanisme Dewan Pengupahan Kota. Pemerintah daerah menegaskan prosesnya berjalan sesuai ketentuan. Akan tetapi, data statistik nasional memberi konteks penting: standar hidup layak bukan sekadar soal upah minimum, melainkan kemampuan nyata memenuhi kebutuhan sehari-hari.
UMK Naik, Kebutuhan Hidup Ikut Naik
Berdasarkan metode terbaru Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dirilis Kementerian Ketenagakerjaan, estimasi biaya hidup layak di Jawa Barat berada di kisaran Rp4,12 juta per bulan. Dengan angka tersebut, UMK Kota Tasikmalaya 2026 baru memenuhi sekitar 72 persen dari standar kelayakan hidup.
Artinya, meski upah minimum naik, kebutuhan dasar—pangan, sandang, papan, transportasi, pendidikan, hingga kesehatan—tetap berlari lebih cepat. Selisih inilah yang membuat diskursus UMK selalu panas: naik, tapi belum mengejar.
Data BPS: Potret Nyata Penghasilan Pekerja
Kondisi ini kian terasa ketika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Statistik Pendapatan Februari 2024. BPS mencatat, rata-rata pendapatan bersih pekerja bebas (pekerja informal tanpa ikatan kerja tetap) di perkotaan Jawa Barat sebesar Rp2.345.100 per bulan. Angka ini baru sekitar 78,7 persen dari UMK Kota Tasikmalaya 2026.
Sementara di perdesaan, rata-rata pendapatan pekerja bebas hanya Rp1.471.500 per bulan—bahkan belum menyentuh setengah UMK. Fakta ini menegaskan bahwa UMK lebih merepresentasikan standar pekerja formal, bukan potret mayoritas tenaga kerja yang menggantungkan hidup pada sektor informal.
UMK dan Mayoritas yang Tak Terjangkau
Di Kota Tasikmalaya, sektor informal menjadi tulang punggung ekonomi warga: pedagang kecil, pekerja harian, jasa lepas, hingga usaha mikro. Bagi mereka, UMK sering kali bukan “upah yang naik”, melainkan “angka yang belum pernah tercapai”.
Ketika UMK saja masih di bawah standar hidup layak, pekerja informal menghadapi tantangan berlapis. Tanpa kontrak kerja, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kepastian pendapatan bulanan, mereka bertahan dengan strategi hemat ekstrem—mengatur belanja, menunda kebutuhan, dan berharap rezeki hari esok tetap ada.
Perdebatan UMK tak lepas dari keseimbangan yang rapuh antara dunia usaha dan perlindungan pekerja. Pemerintah daerah berada di tengah: menjaga iklim usaha tetap hidup, sembari memastikan pekerja tidak kian tertinggal. Namun data menunjukkan persoalan utamanya bukan hanya besaran UMK, melainkan struktur pasar kerja.
Selama dominasi sektor informal masih tinggi, kebijakan upah minimum akan selalu terbatas dampaknya. UMK melindungi pekerja formal; di luar itu, jutaan pekerja tetap berada di wilayah abu-abu kebijakan.
Tantangan Kebijakan Daerah
Bagi Kota Tasikmalaya, fakta ini menjadi cermin. Penetapan UMK Kota Tasikmalaya 2026 sah secara regulasi, tetapi pekerjaan rumah masih panjang. Perluasan lapangan kerja formal, dorongan formalisasi usaha mikro, serta penguatan jaminan sosial menjadi agenda mendesak agar kenaikan UMK tidak berhenti sebagai angka normatif.
Tanpa langkah itu, UMK akan terus menjadi standar di atas kertas—penting, namun belum menyentuh mayoritas warga. Dan bagi para pekerja bebas, hidup tetap berjalan dengan rumus sederhana: bekerja hari ini untuk bertahan hari ini.
Kesimpulannya, UMK Kota Tasikmalaya Rp2,9 juta memang naik, tetapi jika ditimbang dengan standar hidup layak dan realitas pendapatan pekerja, jaraknya masih terasa. Inilah sebabnya isu UMK selalu memantik perdebatan—karena di balik angka resmi, ada kehidupan nyata yang terus berjuang menutup selisih. (AS)



