Ketika Sunyi Bu Siti Terobati: “Hatur Nuhun, Pak Bupati”

lintaspriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Di ujung sepi Kampung Pacargantung, Desa Karangjaya, Kecamatan Karangjaya, berdiri sebuah rumah sederhana yang telah lama menjadi saksi bisu dari sunyinya hidup seorang perempuan renta bernama Ibu Siti Jenab. Di usia sekitar 70 tahun, hidup yang ia jalani bukan sekadar sederhana—tapi begitu senyap, nyaris hampa dari sentuhan kehangatan keluarga.
Delapan tahun lalu, suami tercinta yang selama ini menjadi satu-satunya teman hidupnya, pergi untuk selamanya. “Tahun 2017, tanggal 8, hari Sabtu, jam sepuluh lewat sepuluh menit,” ucapnya dengan suara pelan dan gemetar. Ia mengingat waktu kepergian suaminya dengan sangat detil, bukan karena daya ingatnya tajam, tapi karena kehilangan itu begitu dalam membekas.
Sejak saat itu, sunyi menjadi sahabat sehari-hari Bu Siti.
Tapi jauh sebelum kepergian sang suami, kesunyian lain sebenarnya sudah lebih dulu menyelimuti kehidupan Ibu Siti , kesunyian karena tidak dikaruniai buah hati. Tak ada anak yang memanggilnya “Ibu”. Tak ada suara kecil yang tumbuh besar bersamanya. Tak ada tawa atau rewel yang mengisi masa senjanya.
Pertanyaan tentang anak selalu menjadi jeda panjang dalam setiap percakapan. Bibirnya tertahan, matanya berkaca, dan air mata tak mampu disembunyikan. Bagi Bu Siti, hidup tanpa kehadiran buah hati adalah ruang kosong yang tak pernah bisa diisi, bahkan oleh waktu.
Rumah Bu Siti berada di sudut kampung. Letaknya yang cukup jauh dari tetangga, membuat malam terasa lebih panjang, dan sunyi terasa lebih pekat. Sejak hidup sendiri, ia nyaris tak pernah tidur di rumahnya. Hampir setiap malam, ia menginap di rumah kerabat mendiang suaminya atau tetangga terdekat. Hanya sesekali ia bermalam di rumah sendiri, itupun jika ada sepupunya yang datang menemani.
“Saya takut tidur sendiri. Tapi alhamdulillah… banyak yang sayang sama saya,” ucapnya lirih.
Hingga pagi tadi, Jumat, 1 Agustus 2025, seorang ASN dari Kecamatan Karangjaya mengetuk pintunya. Bukan membawa banyak bantuan atau bingkisan berharga, tapi membawa kabar bahwa ia tak lagi sendiri. ASN tersebut datang sebagai bagian dari program “Tasik Nyaah ka Indung”, sebuah program cinta dari Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, yang digagas oleh Bupati H. Cecep Nurul Yakin dan Wakil Bupati H. Asep Sopari Al-Ayyubi. Program ini mengajak setiap ASN untuk membina satu lansia yang membutuhkan kasih dan perhatian.
Saat diberi penjelasan bahwa ia kini akan memiliki teman —seorang ASN yang akan secara rutin hadir mendampinginya— air mata Bu Siti jatuh seketika. Tubuh ringkihnya membungkuk, kedua tangannya menggenggam tangan ASN. Lagi-lagi, matanya membasah. Kali ini bukan karena luka lama, tapi karena kebahagiaan yang membuncah dari hatinya yang sudah lama beku.
“Alhamdulillah, asa nambihan kulawargi…,” ujarnya dengan suara bergetar.
Ibu Siti sebenarnya bukan asli Karangjaya. Ia berasal dari Awipari, Kota Tasikmalaya. Namun sejak menikah pada tahun 2002, ia mengikuti suaminya menetap di kampung ini. Ketika sang suami wafat, ia sempat terpikir untuk kembali ke kampung asalnya, namun kerabat dan tetangga melarang. Mereka ingin ia tetap tinggal, tetap menjadi bagian dari keluarga besar di Karangjaya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Ibu Siti terbiasa menjadi buruh tani di sawah tetangga. Ia ikut membantu menanam dan memanen padi. “Alhamdulillah, meski tidak dibayar dengan uang, selama puluhan tahun saya tidak pernah merasakan membeli beras. Padi sebagai upah kerja yang saya dapatkan, cukup untuk bekal hidup,” ujar Bu Siti.
Selain itu, ia juga kadang membuat kerajinan anyaman bambu seperti hihid, nyiru, boboko, dan ayakan. Namun belakangan, lututnya sering sakit, membuatnya tak lagi bisa bekerja sekuat dulu. Kini, ASN pendampingnya tengah berupaya mencarikan suplemen dan bentuk dukungan lain untuk membantu mengatasi sakit yang dialami Bu Siti.
Program “Tasik Nyaah ka Indung” hadir bukan hanya membawa bantuan fisik, tapi menyentuh ruang batin yang selama ini kosong dan beku. Ia menyambungkan kasih yang mungkin tak lagi diharapkan, dan mengembalikan senyum yang sudah lama hilang dari wajah seorang ibu yang selama ini hidup dalam kesunyian
Hari ini, kesunyian yang selama ini mengelilingi rumah kecil di Pacargantung perlahan memudar. Ia digantikan oleh harapan. Oleh rasa dihargai. Oleh cinta yang datang dari tempat tak disangka: Kantor Kecamatan. Dan oleh sebuah program yang namanya sederhana, tapi maknanya tak terhingga: Tasik Nyaah ka Indung.
“Hatur nuhun, Pak Bupati… Pak Wakil… Pa Camat… Mugi sarehat, salamet, panjang yuswa sadayana,” pungkas Bu Siti.