Barang Impor Semakin Membanjiri Indonesia

lintaspriangan.com, BERITA NASIONAL. Tahun 2025 belun sampai di pertengahan. Tapi negeri agraris-maritim nan gemah ripah ini kembali kedatangan banyak tamu dari luar, dan selalu dibayar kontan: produk impor. Dari setrika pintar beraksen Mandarin, bantal aromaterapi dari Thailand, hingga baju olahraga buatan Vietnam yang tak pernah dipakai olahraga, semuanya kini dengan santainya memenuhi rak-rak marketplace dan mall-mall di tanah air.

Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Juni 2025 menampilkan fakta pahit: dari Januari hingga April 2025, nilai impor Indonesia mencapai US$76,29 miliar (sekitar Rp1.220 triliun), naik 6,27% dari periode yang sama tahun lalu. Bukan hanya bahan baku dan barang modal, tapi juga barang konsumsi yang naik 7,68%, dari US$6,92 miliar (sekitar Rp110,7 triliun) menjadi US$7,45 miliar (sekitar Rp119,2 triliun). Luar biasa. Rupanya, jangan-jangan sekarang kita bukan hanya lapar nasi, tapi juga lapar gengsi.

Dari data BPS, terungkap bahwa bukan hanya mesin dan kendaraan mewah yang masuk ke Indonesia. Produk-produk yang bahkan bisa diproduksi oleh siswa SMK di pelosok seperti baju tidur, cermin LED, dan dispenser telur juga ikut diimpor.

Yang paling mencolok tentu saja impor kendaraan dan bagiannya yang melonjak 31,01% dalam empat bulan saja, dari US$2,63 miliar (sekitar Rp42,1 triliun) menjadi US$3,45 miliar (sekitar Rp55,2 triliun). Sementara di sisi lain, bengkel kecil di pinggir desa kesulitan dapat onderdil karena harganya melonjak, atau tidak cocok dengan “fitur mobil pintar” buatan luar negeri. Ironis.

Seperti biasa, Tiongkok tampil sebagai “donatur besar” barang impor kita, menyumbang US$25,77 miliar (sekitar Rp412,3 triliun) dari total impor. Dengan kontribusi mesin, elektronik, hingga kendaraan, Tiongkok berhasil menjadi “pabrik raksasa” yang seolah menjelma sebagai jantung konsumsi rumah tangga Indonesia.

Sementara itu, rakyat kita—dalam semangat “digitalisasi”—justru berlomba membeli tisu wajah beraroma lavender dari Korea, alih-alih membeli hasil tenun lokal atau sabun cuci buatan tetangga kampung. Rupanya, mencintai produk lokal memang kalah seksi dibanding unboxing produk luar negeri di TikTok.

Impor barang konsumsi yang tidak strategis mendorong:

  • UMKM terseok, kalah dalam persaingan harga.
  • Lapangan kerja berkurang, karena industri lokal tidak berkembang.
  • Defisit dagang bilateral, seperti dengan Tiongkok (defisit -US$6,9 miliar, sekitar -Rp110 triliun), menjadi beban berulang.

Lebih dari itu, ketika anak muda bangga pakai hoodie “original import” tapi tidak tahu nama produsen tekstil di kota sendiri, kita sedang kehilangan arah dalam membangun kemandirian bangsa.

Ketika produk impor membanjiri Indonesia, dan masyarakat menyambutnya dengan tangan terbuka, kita sebenarnya sedang menggali lubang untuk produk dalam negeri sendiri. Dalam istilah lain, ini adalah bentuk baru imperialisme ekonomi: bukan dengan senjata, tapi dengan diskon, free ongkir dan pengaruh sosial media.

Bangsa besar bukan diukur dari banyaknya barang yang mampu dibeli dari luar, tapi dari seberapa kuat ia berdiri di atas kakinya sendiri. Jika kita terus menjadi konsumen tanpa kendali, maka kita bukan hanya kehilangan identitas produksi, tapi sedang memperpanjang masa depan penjajahan dalam bentuk yang lebih halus dan terstruktur: ekonomi yang tidak berdaulat. (Lintas Priangan/AA)

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More