Mengkritisi Pemerintah Bukan Delik Pidana

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS.
“Redaksi Lintas Priangan, saya ingin mengkritik dugaan kejanggalan dalam pengadaan barang dan jasa, tapi saya takut disomasi atau dilaporkan polisi.
—dari pembaca Lintas Priangan.
Pertanyaan di atas datang seperti teh manis yang disajikan pagi-pagi: hangat, sederhana, tapi menyimpan kepahitan kalau terlalu lama dibiarkan. Ya, kita hidup di negeri yang konon demokratis, tapi warganya masih harus bertanya: “Kalau saya mengkritik, apakah saya akan dipenjara?”
Sampai kapan rakyat harus bisik-bisik untuk menyuarakan ketidakberesan?
Mari kita ilustrasikan dalam situasi yang lebih mudah dibayangkan. Pertanyaan di atas seperti seseorang yang ingin mengeluh soal nasi basi di warung makan, tapi harus konsultasi kesana-kemari, apakah keluhan itu sah disampaikan atau jangan-jangan malah dia dilaporkan karena “merusak nama baik rumah makan”.
Ya, itulah ironi demokrasi kita selama ini.
Dalam praktik pengadaan barang dan jasa pemerintah, tak sedikit cerita ganjil beredar:
Ada proyek yang sepertinya sudah dibicarakan panjang lebar dengan calon pemenang sebelum pengumumannya ditayangkan. Ada lelang infrastruktur yang begitu tertata rapih, sampai-sampai semua penyedia kebagian, nyaris tanpa adanya kompetisi. Ini lelang apa bagi-bagi proyek? Ada pengadaan barang yang penyedianya mirip siluman, keberadaannya setiap tahun berganti bidang usaha. Tak sedikit juga proyek titipan yang isinya program sekaligus dengan company profile calon penyedia.
Warga melihat, mencatat, dan bertanya: ini uang siapa yang dipakai? Tentu uang mereka, uang rakyat. Bukan dari dompet pejabat. Tapi ketika suara rakyat itu disampaikan di Facebook atau TikTok, yang datang bukan klarifikasi, melainkan somasi.
Aneh, bukan?
Sektor pengadaan justru seharusnya menjadi arena paling terbuka untuk diawasi. Ini ruang yang rawan, basah, dan sering jadi tempat lahirnya istilah-istilah kreatif seperti “koordinasi”, nama lain dari persekongkolan, atau “kewajiban” alis pungli atau suap yang disepakati sebelum sebuah proyek diumumkan.
Dan inilah mengapa pertanyaan si penanya tadi sangat relevan—dan sayangnya, masih sering ditakuti orang:
“Kalau saya bersuara, apakah saya akan dibungkam?”
Kabar baiknya, kini Anda tidak perlu lagi jalan sembunyi-sembunyi saat ingin mengkritisi kinerja pemerintah.
Mahkamah Konstitusi sudah menaruh rem di mobil yang selama ini melaju tanpa kendali: pasal-pasal “karet” pencemaran nama baik dalam UU ITE. Dalam putusannya yang monumental (No. 115/PUU-XXII/2024 dan 105/PUU-XXII/2024), MK menyatakan dengan tegas: kritik terhadap badan publik, termasuk pemerintah, bukanlah delik pidana.
Tak bisa lagi institusi merasa tersinggung dan buru-buru bawa warganet ke kantor polisi. Yang bisa mengadukan hanya individu yang merasa kehormatan pribadinya benar-benar diserang secara tidak berdasar.
Jadi, jika Anda bilang:
“Ada belanja produk IT puluhan milyar tapi kok perusahaan penyedianya tidak ada di internet? Ada pelaksana kegiatan pelatihan menjahit tapi oleh perusahaan konstruksi? Ada pengumuman pengadaan tapi terburu-buru? .”
Itu kritik.
Tapi jika Anda tulis:
“Bapak Haji Fulan yang menjabat kepala dinas itu pasti menikmati uang suap!” tanpa bukti,
Nah, itu sudah melompat ke ranah fitnah.
Jadi jangan pribadi pejabatnya, tapi kinerja pejabat atau lembaga publiknya. MK menegaskan, kritik itu bagian dari kontrol sosial. Bahkan kritik yang keras, nyinyir, sarkastik, atau satire, tetap sah selama tidak menyerang martabat pribadi.
Negara demokrasi, kata MK, tidak boleh baper!
Pejabat publik harus belajar membedakan mana kritik, mana hinaan, mana partisipasi warga, dan mana panggilan untuk introspeksi.
Karena kadang-kadang, yang menyakitkan bukan karena rakyat salah bicara, tapi karena yang isi kritik yang dilontarkan memang benar adanya.
Dalam konteks pengadaan barang dan jasa, misalnya, banyak masyarakat tidak tahu harus lapor ke mana. LPSE? APIP? BPK? Ombudsman? Lapor ke media? Atau cukup bikin utas di X (dulu Twitter), lalu berdoa agar tidak diundang klarifikasi oleh aparat?
Kini, jawabannya jadi lebih jelas: Anda boleh bicara.
Boleh curiga, boleh bertanya, boleh menggugat logika.
Selama itu berdasarkan fakta, disampaikan dalam batas etika, dan tidak menyasar kehormatan pribadi seseorang. Dan justru karena Anda bersuara, demokrasi ini tetap hidup.
Pemerintah tidak akan jadi lebih bersih kalau rakyat terus diam. Dan rakyat tidak akan tenang kalau terus hidup dalam bayang-bayang pasal karet.
Jadi, kepada siapa pun yang resah melihat pengadaan barang yang ganjil, atau proyek yang seperti jadi lahan main mata:
Bicaralah.
Suaramu bukan pelanggaran. Tapi justru bentuk bela negara.
 



 
						


