lintaspriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Situ Gede, sebuah danau alami yang terletak di Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya, telah lama dikenal sebagai oase tenang di tengah hiruk-pikuk kota. Dengan luas sekitar 47 hektare dan kedalaman mencapai tiga meter, danau ini menawarkan panorama alam yang menawan, pulau kecil di tengahnya yang sarat legenda dan nuansa spiritual, serta rindangnya hutan di sekeliling yang membawa kesejukan dan ketenangan bagi siapa saja yang datang untuk sekadar menghela napas.
Namun, saat wartawan Lintas Priangan berniat berlibuar bersama keluarga ke Situ Gede, atmosfer damai itu terusik oleh fenomena musik klakson telolet yang dipasang pada perahu-perahu wisata.
Kreasi atau Distorsi Keindahan Alami?
Dari kejauhan, belasan perahu bersandar rapi di pinggiran Situ Gede, menanti penumpang yang ingin berkeliling danau sambil menikmati hembusan angin dan pemandangan hijau. Tapi begitu mesin menyala dan perahu bergerak, terdengarlah bunyi musik klakson telolet—bukan dari mulut musisi jalanan, melainkan dari klakson yang dimodifikasi menjadi penghasil nada-nada yang nyaring, sumbang, dan terus berulang.
“Saya pikir awalnya lucu. Tapi lama-lama, kepala malah pening,” ujar Fitri, seorang wisatawan asal Bandung yang datang bersama keluarganya. Fitri kebetulan satu perahu dengan wartawan Lintas Priangan.
“Kami ke sini niatnya healing, menikmati tenangnya danau dan aura legenda Prabu Dilaya. Tapi suara klakson itu malah bikin stress. Mending kalau musik instrumen yang mendayu, ini malah terasa ada di terminal bus,” ujar suami Fitri.
Sangat mungkin, pemasangan klakson telolet ini bertujuan menarik minat wisatawan, terutama anak-anak.
“Supaya rame aja, biar beda dari tempat wisata lain,” terang juru mudi perahu.
Namun, niat baik itu seolah berbalik menjadi blunder ketika suara yang dihasilkan tidak memperhitungkan harmoni dengan suasana sekitar. Alih-alih memikat, klakson itu seperti menabrak keheningan alami yang menjadi ruh dari Situ Gede.
Benturan Budaya Akustik dan Kearifan Lokal
Bagi masyarakat Tasikmalaya, Situ Gede bukan sekadar destinasi piknik. Tempat ini menyimpan legenda tentang Prabu Dilaya, tokoh mistis yang konon mendiami pulau kecil di tengah danau. Banyak warga yang percaya bahwa aura spiritual masih terasa kuat di tempat ini. Bahkan tidak sedikit yang datang untuk berziarah secara batin, merenung di tengah sunyi, menyatu dengan alam dan sejarah.
Di sinilah letak masalahnya: telolet sebagai bunyi massal dan kasual bertabrakan langsung dengan nilai-nilai ketenangan, refleksi, dan kearifan lokal yang selama ini melekat erat di Situ Gede.
Tentu bukan artinya menolak kreativitas, tapi ada tempat dan waktunya. Kalau di tempat yang penuh makna seperti ini, musik pun sebaiknya lembut, mendukung suasana, bukan mendominasi secara kasar.
Menggugat Sensitivitas Wisata Akustik
Fenomena telolet di danau ini bisa dibaca sebagai bagian dari gejala lebih besar: kurangnya sensitivitas terhadap desain suara dalam pariwisata alam. Di banyak tempat, suara justru menjadi elemen penting untuk memperkuat pengalaman. Di kawasan ecotourism, suara burung, desir angin, atau percikan air sering dirawat agar tetap alami. Tapi di Situ Gede, suara telolet yang tak beraturan justru mengambil alih lanskap akustik dan menciptakan disonansi (ketidaknyamanan).
Bayangkan saja, sedang duduk di atas perahu, memandangi pantulan langit di permukaan air, lalu tiba-tiba terdengar suara klakson yang dipaksa bernyanyi, tapi nadanya kurang 3/4 dari awal hingga akhir. Fals sepanjang tayang, tepat di belakang telinga kita. Benar-benar merusak suasana wisata.
Saatnya Refleksi
Sudah waktunya pihak pemerintah sebagai pengelola wisata, serta pelaku usaha lokal merefleksikan kembali nilai-nilai yang ingin ditawarkan Situ Gede. Apakah ingin menonjolkan keunikan lewat gimmick audio seperti klakson, atau justru menguatkan karakter sebagai ruang healing yang memuliakan alam dan sejarah?
Pengelolaan suara di tempat wisata tak boleh diremehkan. Dalam banyak studi tentang soundscape tourism, suara menjadi bagian dari memori wisatawan. Jika suara yang terekam dalam ingatan adalah bunyi klakson sumbang yang kasar, bukan semilir angin dan suara burung, maka bisa jadi yang pulang bukan ketenangan, tapi ketegangan.
Situ Gede adalah anugerah alam yang tak ternilai bagi warga Tasikmalaya. Ia layak dirawat dengan hormat—termasuk dalam urusan suara. Inovasi memang penting, tapi keharmonisan lebih utama. Telolet mungkin bisa jadi tren di jalanan, tapi di danau yang sunyi dan bertuah seperti Situ Gede, diam pun bisa menjadi musik yang paling indah. (Lintas Priangan/AA)