lintaspriangan.com, BANG SUFI. Inilah puncak peradaban manusia mencapai kemajuan ilmu pengetahuan. Dengan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (AI) banyak ruang konvensional yang tak lagi dibutuhkan. Barangkali 10 tahun mendatang tidak ada lagi bangunan sekolah, tadi perlu ada meja dan bangku kayu. Bahkan kehadiran guru pun tak diperlukan.
Sistem Pendidikan Nasional akan bermigrasi ke dunia digital. Nilai-nilai filosofi pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara tidak hadir di dunia nyata. Ia bisa dinikmati pada kehidupan suara AI Ki Hajar Dewantara. Kecerdasan buatan ini akan menduplikasi para guru masa lalu.
Hari Pendidikan Nasional tahun ini kita perlu merenungkan kembali akan dibawa kemana pendidikan nasional kita? Apakah kita akan didikte oleh robot dan aplikasi komputer yang bisa mengatur nasib manusia? Digitalisasi nasib manusia kini sedang berlangsung masif dan tersistem.
Di tengah kemajuan teknologi informasi, sarana ilmu pengetahuan semakin mudah. Setiap hari ada jutaan pengetahuan yang diposting di media sosial. Guru-guru mulai kehilangan pesonanya.
Murid-murid berpindah ke ruang digital. Semua bisa dilakukan dengan zoom meeting tanpa kehadiran fisik. Serba mudah dan gampang. Ini merupakan berkah teknologi yang sejatinya juga kutukan.
Manfaat positifnya mempermudah pembelajaran dan pengajaran. Tapi kutukan negatifnya, anak-anak tumpul imajinasinya karena otaknya penuh limbah informasi.
Informasi digital yang bermuatan ilmu pengetahuan tidak bisa memberikan keteladanan. Murid bukan hanya sekedar butuh ilmu, tapi juga butuh sosok sang panutan. Dialah yang kita kenal sebagai guru.
Kehadiran guru manusia atau guru yang berasal dari bangsa manusia tidak akan bisa digantikan oleh robot AI dan mesin Google. Akhlak yang mulia hanya bisa diturunkan lewat keteladanan guru. Mesin AI dan robot tidak punya jiwa dan rasa.
Hari Pendidikan Nasional kali ini harus menjadi momentum mengembalikan guru sebagai manusia Dewa yang akan menjadi pencerah anak bangsa. Kemajuan teknologi informasi akan berubah menjadi malapetaka jika tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas mental spiritual.
Pendidikan Nasional sudah lama dibawa kepada realitas hedonisme dan pemujaan kepada materi. Anak belajar diarahkan menuju kesuksesan secara materi. Dampaknya terasa sekarang, ratusan pelaku kejahatan korupsi adalah hasil pendidikan yang salah.
Sukses yang instan adalah dengan korupsi dan menipu anggaran negara. Libido harta dipacu yang akhirnya melahirkan generasi para koruptor kelas kakap hingga kelas teri.
Negara ini kehilangan kader terbaiknya. Ini akibat pendidikan tidak memberikan ruang bagi generasi berprestasi. Bayangkan, para pemimpin politik diisi oleh mereka yang menggunakan ijazah palsu, atau ijazah asli tapi membeli suara rakyat. Kadang ijazah dan gelarnya asli, tapi korupsi tanpa ada rasa bersalah. Ini adalah problem yang harus dipikirkan para pendidik ke depan. (Lintas Priangan)