Ketika Wali Kota Viman Menghadirkan Situ Gede dan Prabu Dilaya di Surabaya

lintaspriangan.com, ADVERTORIAL. Surabaya, Jumat, 9 Mei 2025. Malam itu, Jalan Tunjungan disulap menjadi lorong waktu dan cahaya. Di antara denting gamelan yang bergema, nyala lampu LED berkelip seperti kunang-kunang zaman modern, dan ratusan pasang mata yang terpaku, pada puluhan pejalan kaki. Mereka adalah rombongan dari Kota Tasikmalaya. Mereka tak sekadar berjalan—mereka sedang membawa dongeng, legenda, dan sebentuk danau sunyi di kaki Gunung Galunggung: Prabu Dilaya dan Situ Gede.

Light Culture Parade, acara puncak dari Musyawarah Nasional (Munas) Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) 2025, adalah helaran budaya yang tak sekadar memamerkan warna-warni busana dan irama tradisi. Ia adalah panggung di mana kota-kota dari seluruh penjuru Nusantara menuturkan identitas dan pesonanya kepada Indonesia, dalam satu malam panjang yang gemerlap. APEKSI, organisasi yang menjadi wadah sinergi dan kolaborasi antar-wali kota se-Indonesia, menyelenggarakan Munas kelimabelasnya di Surabaya, dan menjadikan parade budaya ini sebagai jantung emosional dari pertemuan itu.

Malam itu, rombongan dari Kota Tasikmalaya hadir bukan sebagai peserta biasa. Mereka datang sebagai penutur kisah. Puluhan seniman dari beberapa sanggar dan guru-guru seni budaya, serta beberapa pejabat Kota Resik, mengenakan kostum etnik nan anggun, membawa properti yang memvisualkan keagungan Legenda Prabu Dilaya—sosok legendaris penyebar agama islam di Tatar Sukapura Tasikmalaya. Di pundak mereka, Situ Gede bukan lagi sekadar danau—ia berubah menjadi panggung yang hidup. Kisah Prabu Dilaya bukan sekedar dongeng, tapi jelmaan sakral titisan keagungan alam.

Diantaranya ada beberapa perempuan dengan selendang berkilau. Mereka menari pelan, seperti riak air yang disapu angin sore. Di belakangnya, aktor yang memerankan Prabu Dilaya melangkah penuh wibawa, membawa tombak berhias ukiran garuda. Lalu di kejauhan, pengeras suara menyajikan narasi yang menggema.

“Di kaki Galunggung, ketika fajar menembus kabut dan angin membawa harum dedaunan hutan, Situ Gede terbangun dalam keheningan suci. Dan di tengah dekapannya, Prabu Dilaya bersemayam, menemani semesta yang tenang sejak ribuan tahun silam,” papar Sang Narator, yang diembankan pada Andri Candiaman, S.Sn., salah seorang Pamong Budaya yang dimiliki Pemkot Tasikmalaya.

Narasi itu tak hanya didengar—ia masuk ke dalam kepala penonton, melukis imajinasi. Anak-anak kecil ternganga saat melihat tiruan perahu tradisional yang melaju perlahan di tengah parade. Para orang tua merekam dengan gawai mereka, sementara bisik-bisik kekaguman menyebar seperti ombak kecil.

Tak sedikit yang terdiam ketika Andi melanjutkan narasinya:

“Airnya jernih, memantulkan langit seperti cermin alam. Di tepiannya, pepohonan rimbun berdiri seperti barisan penjaga masa lalu. Burung-burung berputar di angkasa, dan riak dayung perahu yang mengantarkan kita kembali pada alam. Di sini, waktu bisa terasa melambat. Inilah Situ Gede Kota Tasikmalaya, bukan hanya tempat—tapi ruang untuk kembali pada batin yang damai.”

Dalam hitungan menit, Situ Gede tak lagi berada di Tasikmalaya. Ia hadir di Surabaya—di mata dan benak ribuan warga yang menyaksikan parade malam itu.

Wali Kota Tasikmalaya, Viman Alfarizi Ramadan, tampak bangga. Ia mengenakan bendo khas Sunda dan baju bermotif batik Sukapura.

“Kami ingin Situ Gede tak hanya dikenal sebagai destinasi alam, tapi juga ruang spiritual, kultural, dan imajinatif,” ucapnya, sebagaimana disampaikan melalui Dr. Deddy Mulyana, S.STP., M.Si., Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (Kadis Porabudpar) Kota Tasikmalaya.

Demi menghadirkan Prabu Dilaya dan Situ Gede di Surabaya, Wali Kota Viman tak berangkat sendirian. Selain Kadisporabudpar, Ia juga membawa serta sebagian pejabat Pemkot Tasikmalaya, antar lain Asisten Daerah, Kadis Kominfo, Kadis Lingkungan Hidup, Kepala BPKAD, Kepala Dishub dan Kadis Indag.

Situ Gede memang bukan danau biasa. Ia menyimpan ketenangan yang sulit diceritakan dengan kata. Airnya yang luas dan dalam, dikelilingi hutan lindung dan pepohonan tua, menjadi tempat orang-orang datang bukan hanya untuk berlibur, tetapi juga untuk berziarah, merenung, dan berdamai. Legenda Prabu Dilaya menjadi bagian tak terpisahkan dari daya tarik itu—sosok legenda gagah dari masa silam yang tak pernah usang di lintasan zaman.

Light Culture Parade menjadi medium promosi yang tak biasa. Ia bukan brosur yang dilipat, bukan video yang sekedar diputar. Ia adalah teater jalanan, dengan langit sebagai atap dan publik sebagai penonton tanpa tiket. Kota Tasikmalaya menggunakan panggung itu sebaik mungkin, menghadirkan Situ Gede dan Prabu Dilaya sebagai pengalaman yang membekas.

“Situ Gede Tasikmalaya adalah selembar cermin alam seluas 47 hektar, yang terhampar di kaki gunung, tempat langit berkaca setiap pagi dan senja jatuh pelan seperti doa,” tambah Andi, semakin membuat ribuan kepala yang mendengarnya berimajinasi.

Ketika rombongan itu usai melintas, mereka meninggalkan jejak bukan hanya berupa tepuk tangan, tetapi rasa penasaran. “Di mana itu Situ Gede? Bagaimana caranya ke sana?” tanya seorang pengunjung kepada rekannya, matanya masih mengikuti bayang parade yang menjauh.

Ingin tahu lebih lanjut tentang Situ Gede atau legenda Prabu Dilaya? Jawaban terbaiknya bukan di buku atau internet—melainkan di pagi yang tenang, ketika embun menyentuh daun dan kabut tipis membalut danau dengan misteri yang lembut.

“Kami tunggu Bapak dan Ibu di Situ Gede,” undang Wali Kota Viman penuh santun, kepada puluhan wali kota yang duduk satu podium bersamanya. (Lintas Priangan)

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More