lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Biasanya butuh waktu bertahun-tahun, skandal-skandal besar, dan parade kebijakan ngawur untuk membangun koalisi kekecewaan dari masyarakat pada pemimpinnya. Tapi Kang Dedi Mulyadi punya keistimewaan lain: hanya dalam waktu enam bulan saja, 11 entitas besar di Jawa Barat, bisa dipastikan mulai merasakan hal yang sama: kecewa.
Yang menarik, mereka tidak duduk dalam rapat resmi. Tidak ada deklarasi aliansi. Tapi kalau kita jeli, ini seperti semesta sedang membentuk gerakan rakyat — tidak dengan teriakan revolusi, tapi dengan gerutuan perlahan yang makin hari makin menyeruak: dari grup WhatsApp guru, obrolan tukang parkir wisata, hingga siaran dakwah.
11 Entitas? Siapa Saja Mereka?
1. Entitas Pendidikan, dari Guru Besar hingga Murid yang Gandrung Acara Perpisahan
Kebijakan pelarangan study tour dan perpisahan sekolah dilakukan tanpa kajian mendalam, apalagi dialog. Padahal bagi siswa, momen ini bukan sekadar jalan-jalan, tapi semacam ritual kedewasaan. Sensasi study tour dan perpisahan itu benar-benar tak bisa diulang, atau bahkan dibeli dengan uang. Semuanya diamputasi begitu saja hanya karena segelintir orang tua mengeluh soal biaya. Tanpa ada ada data pasti, seberapa banyak sebenarnya orang tua yang kerepotan biaya study tour dan perpisahan? Apalagi alternatif solusi. Kenapa fokusnya bukan pada mencari solusi agar kesulitan biaya yang dialami oleh sebagian orang tua bisa diatasi. Bukan malah menghentikannya secara serampangan.
2. Entitas Pariwisata: Ribuan Roda yang Macet
Dampak kebijakan study tour dan perpisahan menjalar cepat ke sektor pariwisata. Sopir bus wisata kehilangan jadwal rutin. Tukang karcis di tempat wisata mendadak jadi pengangguran musiman. Pedagang kaki lima, tukang foto keliling, penjaga toilet berbayar, tukang pasang tenda, tukang angkut soundsystem — semuanya kena imbas. Mereka biasanya bersemangat menyambut musim study tour atau perpisahan. Kali ini, tiba-tiba mereka harus gigit jari. Wisata edukatif yang biasanya mendongkrak ekonomi lokal justru dibekukan. Dalam satu kebijakan, ribuan roda ekonomi rakyat kecil mendadak macet.
3. Ormas dan LSM: dari Mitra Sosial Jadi Target Satgas
Satgas Anti Premanisme dibentuk usai satu video viral tentang ormas ngamuk minta THR. Lalu, disamarakatan begitu rupa. Seolah, tak ada kebaikan sama sekali dari makhluk bernama ormas. Padahal, andaipun benar banyak oknum, seharusnya dibina, bukan diberantas. Karena mereka juga anak negeri ini. Terlebih, faktanya ormas merintis lahirnya bangsa besar ini. Sebut misalnya Boedi Oetomo, Syarikat Islam, atau organisasi-organisasi kepemudaan di berbagai daerah di Nusantara. Mereka yang punya sejarah panjang dalam kemerdekaan, pemberdayaan masyarakat, dan kebudayaan, sekarang dianggap sebagai ancaman. Tak ada ruang dialog, hanya aksi sapu bersih. Para aktivis sosial pun mulai bertanya-tanya: kapan kami berubah status dari “partner pembangunan” menjadi “sasaran operasi”?
4. Ulama dan Aktivis Islam: Sejak Purwakarta, Dendam Tak Pernah Selesai
Ulama dan aktivis Islam sejak lama punya hubungan yang tak harmonis dengan KDM. Sejak menjabat Bupati Purwakarta, kebijakannya sering bertabrakan dengan nilai-nilai keislaman. Kini saat menjadi Gubernur, sentimen itu belum juga reda. Banyak pengajian membahasnya secara tersirat. Forum dakwah menyentilnya secara halus. Ini bukan hanya soal agama, tapi soal ketidakhadiran seorang pemimpin dalam ruang spiritual warganya.
5. Budayawan Sunda: “Katanya Budayawan, Tapi Tak Mau Ditegur Sesepuh”
Dulu dielu-elukan sebagai representasi kebudayaan Sunda. Tapi kini banyak budayawan Sunda angkat suara, dari mulai Eka Santosa hingga komunitas-komunitas adat lokal. Mereka heran dengan gaya komunikasi KDM yang dinilai makin arogan, tak mau dikritik, dan semakin jauh dari nilai-nilai “santun” yang melekat dalam budaya Sunda. Budaya itu bukan hanya aksesoris pentas, tapi cara bertindak. Sayangnya, ini yang mulai hilang.
6. DPRD Jabar: Bukan Oposisi, Tapi Diposisikan Jauh
Relasi dengan DPRD tak harmonis. Bukan karena kritik kebijakan, tapi karena gaya kepemimpinan KDM yang terkesan tak menghargai fungsi legislatif. Banyak keputusan diambil secara sepihak. Diskusi strategis minim. DPRD merasa hanya jadi pelengkap, bukan mitra. Suasana kerja jadi dingin. Agenda provinsi pun terhambat karena komunikasi tak berjalan.
7. Loyalis Pemimpin Sebelumnya
Salah satu hobi KDM adalah membongkar ‘dosa-dosa’ pemimpin sebelumnya. Dari beban operasional masjid, utang ke BPJS, hingga hibah bermasalah. Tapi alih-alih memperbaiki secara administrasi dan hukum, ia memilih membongkar ke publik. Coba renungkan, apa sulitnya membenahi semua itu dengan jalur adminsitratif, bahkan kalau perlu jalur hukum, tapi tanpa harus banyak cuap-cuap di TikTok. Gaya seperti ini membuat loyalis pendahulunya marah. Mereka merasa harga diri pimpinannya diacak-acak hanya untuk kepentingan citra.
8. Pengurus dan Bobotoh Persib: Bonus 2 Miliar yang Jadi Bualan
KDM pernah berorasi akan memberi bonus Rp2 miliar untuk Persib jika juara. Rp1 miliar dari kantong pribadi, dan Rp1 miliar lagi dari ASN. Tapi faktanya, orasi penuh gaya di atas mobil itu ternyata tidak mampu menggerakkan ASN untuk urunan. Target Rp1 milyar berakhir jadi bualan dan klarifikasi. Akhirnya, H. Umuh sampai menolak bantuan karena merasa prosesnya tak etis, catatannya tak jelas. Pemain dan bobotoh pasti kecewa. Pengurus saling bisik, “Memangnya sejak kapan dia bantu Persib?”
9. Internal ASN dan Birokrasi
Contoh paling konkret: kegagalan mobilisasi ASN untuk mengumpulkan bonus Persib. Padahal, jumlah ASN yang berstatus pegawai di Provinsi Jawa Barat itu sangat besar, sekitar 50 ribu. Tapi faktanya, euforia yang ditunjukkan KDM hingga menari di atas mobil dengan membuka baju, sama sekali tak mampu menggerakkan ASN untuk sekedar urunan.
10. Konflik Wakil Gubernur & Sekda Jabar
Konflik antara Wakil Gubernur dan Sekda muncul ke publik. Bukannya dimediasi, malah dibiarkan liar. Ini menunjukkan kegagalan KDM dalam memimpin orkestrasi pemerintahannya sendiri. Padahal harmoni internal adalah syarat mutlak jalannya roda pemerintahan. Jika dapur sendiri berantakan, bagaimana bisa menyajikan hidangan untuk rakyat? Mau ditinjau dari sisi regulasi maupun teori, yang paling bertanggung-jawab atas keretakan Wakil Gubernur dan Sekretaris Daerah adalah Gubernur.
11. Komunitas Pers: Pilar Demokrasi yang Dianggap Gangguan
Hubungan KDM dengan media massa juga tak harmonis. Ia kerap menyudutkan media, bahkan menegaskan tak perlu lagi kerja sama media. Padahal, media menjalankan fungsi kontrol sosial dan menjadi pilar keempat demokrasi. UU Pers menjamin kebebasan dan fungsinya. Tapi di era KDM, jurnalis dimusuhi. Di mata pers, KDM bukan hanya gagal membangun komunikasi, tapi juga gagal memahami peran media dalam tata kelola demokrasi. Sebagian wartawan sempat terheran-heran, masa iya nama sebesar KDM tak faham apa bedanya media sosial dengan media massa.
Fenomena Baru: Sungai Antipati yang Semakin Mengalir
Mereka tidak janjian. Tapi kekecewaan ini seperti aliran sungai kecil dari berbagai arah yang akhirnya bertemu di satu muara: antipati. Bukan karena mereka benci pribadi Dedi Mulyadi, tapi karena mereka merasa dijauhkan dari ruang partisipasi. Dulu mereka berharap, sekarang mereka kecewa — bersama.
Inilah Jawa Barat hari ini. Sebuah provinsi dengan potensi koalisi kekecewaan dari 11 komunitas besar.
Kalau ini dibiarkan, entah siapa yang masih tersisa untuk mendengarkan pidato KDM, selain tim medsos, buzzer dan tukang sound system yang belum dibayar.