Tajuk

PPPK Paruh Waktu: “Tahun Ini Dipinang, tapi Entah Kapan ke Pelaminan”

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Tahun 2025 ini, banyak tenaga honorer akhirnya bisa tersenyum lega. Setelah bertahun-tahun menunggu dalam ketidakpastian, mereka akhirnya mendapat kabar bakal “dipinang” juga oleh negara, lewat status baru yang disebut PPPK Paruh Waktu.
Namun seperti kisah cinta yang manis di awal tapi masih samar di ujung, andai pun jadi, pinangan itu ternyata belum tentu berakhir di pelaminan. Tahun ini –semoga saja– benar-benar semuanya dipinang. Tapi tahun depan, belum tentu mereka semua ke pelaminan. Statusnya bisa berubah… atau justru hilang tergantung dua kata sakti: “Ketersediaan formasi”.

Bayangkan begini, sudah resmi diperkenalkan ke keluarga besar, tapi belum tahu kapan hari H pernikahan. Sudah pakai seragam baru, tapi surat nikahnya belum keluar. Begitulah nasib para PPPK Paruh Waktu, seperti berada di antara kepastian administratif dan ketidakpastian masa depan.

Menurut penjelasan Kepala BKN, status paruh waktu ini hanya berlaku tahun ini. Pemerintah menggunakan skema ini sebagai solusi sementara untuk menyelesaikan tumpukan tenaga honorer yang sudah terlalu lama mengabdi. Bagian ini memang terasa membahagiakan, karena seolah status paruh waktu hanya perlu diimbangi dengan kesabaran selama satu tahun.
Tapi masalahnya, setelah 2025, tak ada jaminan semua akan otomatis menjadi PPPK penuh waktu. Lalu jika tahun depan tidak kebagian formasi, dipecat semua? Atau lagi-lagi ganti nama?
Ibaratnya, ini bukan pernikahan seumur hidup, melainkan masa percobaan untuk melihat siapa yang cocok melangkah ke jenjang berikutnya.

Senada dengan BKN, Kementerian PAN-RB pun menyebut bahwa kontrak PPPK Paruh Waktu hanya setahun. Kalau kinerja baik, target Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) tercapai, dan hasil evaluasi memuaskan, barulah bisa diperpanjang. Lagi-lagi, itu pun jika formasi tersedia.
Kalau tidak, ya… seperti lamaran yang ditolak mertua: bukan karena tak pantas, tapi karena “belum berjodoh dengan formasi.”

Namun di balik semua itu, ada kenyataan pahit yang sulit diabaikan. Banyak PPPK Paruh Waktu yang sebenarnya bekerja penuh waktu. Mereka bertugas dari pagi hingga sore, dengan tanggung jawab tak jauh beda dari pegawai tetap. Mereka mengajar, melayani publik, mengurus administrasi, bahkan lembur.
Hanya saja, status “paruh waktu” membuat mereka seperti pekerja sepenuh hati, dengan kontrak setengah hati.

Meski begitu, kehadiran skema ini sebenarnya membawa sedikit angin segar. Negara, lewat jalur PPPK, akhirnya mengakui keberadaan mereka yang selama ini bekerja dalam bayang-bayang “honorer abadi”.
Mulai 2026, pemerintah berencana menata ulang sistem kepegawaian agar semua tenaga honorer benar-benar masuk dalam sistem formal. Itu berarti, ada peluang nyata untuk berubah status, asalkan, tentu saja, formasi tersedia dan kebutuhan instansi memungkinkan.

Penting! Catat ya, tahun 2026 pemerintah pusat akan menata semua honorer agar masuk sistem kepegawaian. Jadi untuk wali kota, wakil wali kota, bupati atau wakil bupati, termasuk kepala dinas atau badan dan sekretarisnya, tolong berhenti nitip-nitip tenaga sukwan. Jangan ditiru kelakukan oknum para pendahulu. Ini penting digarisbawahi. Karena sebenarnya, penyelesaian tenaga honorer ini tak kunjung beres lantaran jumlah tenaga sukwan selalu bertambah. Siapa lagi yang bisa titip-titip tenaga sukwan kalau bukan mereka.

Kembali ke PPPK Paruh Waktu yang tahun depan bakal berharap ada formasi. Masalahnya, formasi ini ibarat restu orang tua: tak bisa dipaksa, apalagi dipercepat. Harus menunggu kesiapan anggaran, kebutuhan jabatan, dan keputusan dari kementerian terkait.
Jadi, meskipun pemerintah berjanji akan menata, hasil akhirnya tetap tergantung pada “restu formasi”.

Dan di sinilah letak dilema cinta segitiga: di satu sisi ingin memberikan kepastian, di sisi lain masih terikat oleh sistem dan peraturan yang tak bisa dilangkahi, di sisi lain, mau main tegas-tegasan juga kurang nyali.
Sementara para PPPK Paruh Waktu terus bekerja, berharap tahun depan tidak hanya “dipinang”, tapi juga “dinikahi secara resmi” oleh negara. Masa mau nikah kontrak.

Namun, seperti halnya hubungan cinta yang dewasa, kejelasan status itu tidak hanya ditentukan oleh janji, tapi juga oleh komitmen dan kinerja.
Mereka yang disiplin, produktif, dan menunjukkan dedikasi tinggi tentu punya peluang lebih besar untuk “naik status”. Sementara yang sekadar numpang SK, bisa saja tertinggal di kursi tunggu.

Di tengah ketidakpastian itu, para PPPK Paruh Waktu tetap memilih menjalani hari dengan semangat.
Karena, seperti kata seorang guru di pojok sekolah desa, “Walau statusnya masih paruh waktu, niat mengajar saya tetap full time.”
Kalimat sederhana itu mungkin jadi cermin banyak ASN, bekerja bukan semata demi status, tapi karena panggilan pengabdian.

Jadi, untuk sementara, biarlah “akad” itu belum terjadi. Tugas sekarang adalah menunjukkan bahwa pinangan ini pantas dipermanenkan.
Sebab, dalam cinta maupun birokrasi, yang sabar, tekun, dan berprestasi biasanya akhirnya mereka lah yang duduk di pelaminan.

Giuliana P. Sesarani

Giuliana Puti Sesarani, S.H. Redaktur Pelaksana Lintas Priangan [lintaspriangan.com]

Related Articles

Back to top button