Tajuk

Drama Manajemen Talenta di Tengah Lemahnya Integritas dan Transparansi Pemkot Tasikmalaya

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Panggung birokrasi Kota Tasikmalaya kembali membuka tirai. Kali ini lakon yang dimainkan berjudul “Manajemen Talenta ASN”. Sutradaranya pimpinan daerah dan badan kepegawaian, aktornya para pejabat, dan penontonnya tentu saja masyarakat. Di atas kertas, naskahnya indah: menyiapkan talent pool, memetakan potensi dan kompetensi, lalu menempatkan ASN terbaik di posisi strategis. Tapi seperti drama yang terlalu sering dipentaskan, publik boleh curiga, apakah ini akan berakhir sebagai kisah reformasi, atau justru sandiwara lama dengan judul baru?

Subjektivitas adalah konflik utama dalam naskah ini. Pada era open bidding, setidaknya ada pihak luar yang ikut menilai: KASN, akademisi, praktisi independen. Ada “penonton” yang bisa memverifikasi jalannya cerita. Kini, dalam manajemen talenta, semua plot ditulis dan dimainkan di ruang internal yang hanya berisi pimpinan daerah dan badan kepegawaian.

Ingat, data talent pool dikunci rapat, tidak bisa diakses publik. Hasilnya? Integritas aktor dan sutradara menjadi taruhan. Jika mereka teguh, drama ini bisa jadi tontonan inspiratif. Jika tidak, panggung hanya akan dipenuhi akting penuh kepura-puraan. Yakin mereka tidak akan manut pada intervensi politik dan bisnis?

Masalahnya, integritas birokrasi Tasikmalaya masih rapuh. Indikasi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa bertebaran dimana-mana, meski jarang sekali dikonsumsi oleh APH. Laporan dan desas-desus penyimpangan anggaran seperti suara sumbang yang tak kunjung padam. Maka wajar bila publik khawatir: manajemen talenta bukan melahirkan bintang-bintang baru, melainkan sekadar mengukuhkan pemain lama yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.

Transparansi pun menjadi lubang besar dalam drama ini. Lembaga publik di Tasikmalaya masih gemar menutup pintu data rapat-rapat. Mereka ngotot habis-habisan dengan berbagai cara, agar data mereka tak dilihat dan dibaca rakyat. Seolah-olah, uang yang mereka pakai berasal dari warisan, dan publik tidak punya hak untuk tahu.

Mungkin, manajemen talenta perlu diacungi jempol jika publik diberi akses pada data talent pool, bagaimana penilaiannya, dan apa jalur pengembangannya, lalu seperti apa skornya. Atau kalau perlu, buat aplikasi penilaian yang serba otomatis tanpa sentuhan jemari siapapun. Karena tanpa inegritas dan transparansi, manajemen talenta hanyalah panggung gelap: kita diminta percaya pada cerita, tapi lampu sorot tak pernah dinyalakan.

Masyarakat tidak menolak perubahan. Manajemen talenta bisa jadi inovasi penting, tapi sekali lagi, jika dijalankan dengan jujur dan terbuka. Dan ketika integritas rapuh serta enggan transparansi, drama ini rawan berakhir sebagai sandiwara murahan. Reformasi birokrasi hanya jadi jargon, meritokrasi tinggal slogan, dan manajemen talenta tak lebih dari lakon penuh intrik di balik layar.

Publik pantas curiga, sebab pengalaman mengajarkan: panggung birokrasi sering kali lebih sibuk mempertahankan peran daripada menghadirkan pelayanan.

Related Articles

Back to top button