Berita Tasikmalaya

Ditanya Masalah Pengadaan, Dispusipda Kota Tasikmalaya Pilih Bungkam

lintaspriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (Dispusipda) Kota Tasikmalaya memilih bungkam ketika ditanya terkait pengadaan barang yang sudah mereka laksanakan. Sikap bungkam ini menambah panjang daftar SKPD yang terkesan menutup diri dan abai terhadap semangat transparansi.

Padahal, permohonan wawancara mengenai pengadaan tersebut sudah diajukan secara tertulis oleh Redaksi Lintas Priangan. Dengan format tertulis, Dispusipda sejatinya memiliki waktu cukup untuk menyiapkan jawaban yang relevan, bahkan tanpa harus bertatap muka dengan wartawan yang untuk sebagian pejabat tak jarang dianggap mengganggu. Jawaban bisa dikirim melalui WhatsApp atau email redaksi. Namun, hingga kini tidak ada satu pun respons yang diberikan Dispusipda Kota Tasikmalaya.

Surat wawancara itu dikirim pada 4 September 2025 lalu melalui WhatsApp ke beberapa staf Dispusipda. Hingga berita ini ditulis, Rabu (10/09/2025), dinas terkait tetap diam seribu bahasa.

Kebutuhan wawancara ini bermula dari ketidakjelasan pada dokumen paket pengadaan buku. Pada judul paket tertulis “Bahan Perpustakaan Tercetak”, tetapi di dokumen spesifikasi teknis, tepatnya di bagian B. Maksud dan Tujuan, justru tertulis “pengembangan dan pemanfaatan aplikasi buku digital”. Perbedaan istilah ini menimbulkan pertanyaan sederhana: sebenarnya pengadaan ini untuk buku cetak atau digital?

Ketidakjelasan semakin mencuat setelah redaksi menelusuri dokumen spesifikasi teknis yang ditandatangani Kepala Dispusipda, H. Andi Abdullah. N. SH., M.Si. Banyak topik buku yang dibeli lewat pengadaan justru terlalu bersifat umum, yang notabene mudah ditemukan di internet. Contohnya “Mengenal Tokoh Komputer Pengubah Dunia”, “Perayaan Ramadan: Menyambut Bulan Suci di Indonesia”, atau bahkan buku yang versi gratisnya bertebaran di dunia maya seperti ensiklopedia fauna.

Pertanyaan penting pun muncul: Bukankah pengadaan buku perpustakaan itu harus berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pemustaka? Lalu, 654 judul buku itu dipilih berdasarkan apa? Apakah ada survei kebutuhan pemustaka? analisis statistik peminjaman? relevansi dengan lembaga mitra? atau sekadar mengikuti ketersediaan dari penyedia barang?

Pertanyaan terakhir patut didalami. Apalagi, koleksi buku yang dibeli tersebut didominasi oleh terbitan lama, tahun 2017-2018, bahkan ada juga buku yang terbit tahun 2014 dan 2015. Sebaliknya, tidak ada buku terbitan baru 2024 dan 2025. Wajar kalau kemudian terbersit pertanyaan, ini belanja pengadaan atau belanja cuci gudang? Jika orientasi pengadaan tidak berpijak pada kebutuhan masyarakat, yang dirugikan tentu negara dan rakyat. Lantas, siapa yang mengambil untung?

Redaksi juga melakukan survei harga terhadap sejumlah judul. Hasilnya, banyak harga buku dalam dokumen spesifikasi teknis jauh lebih tinggi dibanding harga pasaran. Misalnya, buku A-Z Ensiklopedia Metode Pembelajaran Inovatif untuk Guru, Dosen, dan Mahasiswa tercatat seharga Rp97.400, padahal di pasaran hanya Rp50–60 ribu. Buku Cerita Rakyat Bali, Lombok & Flores Dewi Rinjani dan Cerita Lainnya dibeli Rp68.700, sementara di toko buku daring harganya hanya sekitar Rp50 ribu. Begitu juga dengan Bangau yang Berbudi dan 3 Cerita Menarik dari Jepang yang di pasaran bisa didapat kurang dari Rp32 ribu, namun dalam pengadaan dibeli Rp57.300.

Jika pun beralasan bahwa skema pengadaan pemerintah tidak memungkinkan belanja langsung ke marketplace, semestinya harga-harga di marketplace tetap dijadikan acuan wajar dalam mengajukan penawaran. Apalagi, diskon besar sudah menjadi hal lumrah di dunia perbukuan.

Andai memang tidak ada yang perlu dicurigai di balik pengadaan buku ini, mengapa Dispusipda Kota Tasikmalaya memilih bungkam? Meski nilainya tak menyentuh angka milyaran, namun idealnya APH harus mendalami indikasi-indikasi antitransparansi seperti ini. (Lintas Priangan/AC)

Giuliana P. Sesarani

Giuliana Puti Sesarani, S.H. Redaktur Pelaksana Lintas Priangan [lintaspriangan.com]

Related Articles

Back to top button