Selamat Tinggal Wartawan! Sang Raja Sudah Punya Follower Jutaan

lintaspriangan.com, TAJUK LINTAS. Sebuah pencerahan luar biasa datang dari seorang pejabat publik bergaya raja. Ia menyatakan, dirinya tak lagi memerlukan pers, karena telah memiliki akun media sosial. Dengan visi yang melampaui zaman, beliau menyiratkan sebuah gagasan revolusioner: di era digital ini, pemerintah tak lagi memerlukan media massa atau pers. Mengapa? Sebab, akun media sosial beliau sudah punya jutaan pengikut. Follower adalah segalanya.
Ini adalah kabar gembira bagi efisiensi demokrasi. Bayangkan sebuah dunia di mana tidak ada lagi wartawan merepotkan yang datang dengan pertanyaan-pertanyaan menjebak seperti, “Pak, bagaimana kelanjutan proyek mangkrak itu?” atau “Bu, bisa jelaskan alokasi anggaran yang janggal ini?”.
Kini, semua informasi tersaji murni, suci, dan tanpa filter—kecuali filter Instagram dan tiktok—langsung dari akun resmi Sang Raja. Kebenaran tidak lagi perlu diverifikasi, cukup di-klik “suka” dan dibagikan. Mari kita bedah gagasan cemerlang ini melalui tiga kacamata: argumen, teori, dan regulasi.
Argumen: Demokrasi dalam Genggaman Jempol
Logika di balik pandangan ini begitu sederhana dan modern. Untuk apa dialog jika bisa monolog? Untuk apa akuntabilitas jika ada engagement rate? Nah, ini dasarnya.
Pertama, Akuntabilitas Kini Diukur dengan Likes. Lupakan rapat dengar pendapat yang membosankan. Mandat rakyat yang sesungguhnya tecermin dari jumlah likes pada sebuah unggahan. Sebuah retweet adalah persetujuan paripurna. Komentar berisi emoji api (🔥🔥🔥) adalah bukti sahih bahwa kinerja di bawah kendali Sang Raja sedang membara. Sebaliknya, kritik? Itu jelas ulah buzzer bayaran dari pihak oposisi. Termasuk tulisan ini tentunya.
Kedua, Transparansi Adalah tentang Estetika. Siapa bilang transparansi itu soal membuka data anggaran atau risalah rapat? Kuno! Transparansi modern adalah memperlihatkan outfit saat kunjungan kerja, membagikan video sinematik saat meresmikan gunting pita, dan menyajikan wajah mewek saat bagi-bagi bantuan sosial. Masyarakat tidak perlu tahu detail rumit kebijakan; mereka hanya perlu tahu bahwa Sang Raja tampil meyakinkan di depan kamera.
Ketiga, Aspirasi Publik Sudah Terwakili oleh Kolom Komentar. Untuk apa media menyuarakan keluhan warga di pelosok? Kan sudah ada kolom komentar. Tentu saja, yang akan dibaca dan dibalas hanyalah komentar-komentar bernada pujian seperti “Sehat selalu, Bapak!” atau “Lanjutkan pengabdiannya!”. Aspirasi yang berisi keluhan? Itu pasti hoaks atau minimal dianggap kurang bersyukur. Cukup balas dengan senyum dengan narasi rendah hati, sambil jalan-jalan pagi di pematang sawah.
Teori: Mengubur Pilar Keempat dengan Feed Estetik
Dahulu kala, ada seorang pemikir dari abad ke-18 bernama Edmund Burke yang mencetuskan konsep usang bernama “Pilar Keempat Demokrasi” atau The Fourth Estate. Katanya, pers berfungsi sebagai pengawas independen terhadap pemerintah (eksekutif), parlemen (legislatif), dan lembaga peradilan (yudikatif).
Teori ini jelas sudah tidak relevan. Buat apa pilar pengawas jika kita bisa membangun “Pilar Kelima: Follower“?
Fungsi pilar kelima ini jauh lebih unggul. Mereka tidak mengajukan pertanyaan sulit. Sebaliknya, mereka bertugas menjadi benteng digital, menyerang siapa saja yang berani mengkritik di kolom komentar, dan mengamplifikasi setiap pesan pejabat hingga menggema di seluruh jagat maya. Inilah bentuk check and balance versi 4.0: follower akan memeriksa (check) siapa saja yang tidak seimbang (unbalanced) dalam memuja junjungannya.
Regulasi: UU Pers vs Algoritma dan Fitur Medsos
Ada sebuah buku tebal dan sedikit berdebu bernama UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di dalamnya tertulis hal-hal rumit. Pasal 3 menyebut pers berfungsi sebagai kontrol sosial. Pasal 6 lebih jauh lagi, menyebut pers berperan melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran demi kepentingan umum.
Betapa merepotkannya! Aturan-aturan ini kini bisa disederhanakan dengan fitur media sosial:
- Pengawasan, Kritik, dan Koreksi? Itu namanya hate speech. Solusinya mudah: klik tombol Block atau Restrict. Masalah selesai.
- Fungsi Kontrol Sosial? Sudah diwakilkan oleh algoritma. Biarkan algoritma yang menentukan informasi mana yang layak viral dan mana yang harus ditenggelamkan.
- Hak Masyarakat untuk Tahu? Tentu saja hak itu dihormati. Masyarakat berhak tahu apa yang ingin diberitahukan oleh Sang Raja melalui akun resminya. Informasi di luar itu dianggap tidak esensial.
Untuk apa Kode Etik Jurnalistik jika sudah ada Community Guidelines dari platform? Untuk apa hak tolak jika ada tombol hapus komentar? Semuanya menjadi lebih ringkas dan terkendali. Pasti begitu isi kepala Si Raja.
Maka, mari kita sambut fajar baru demokrasi ini. Sebuah demokrasi di mana suara Sang Raja adalah satu-satunya melodi, follower adalah dewannya, dan tombol block adalah palu hakimnya.
Matikan televisi, berhentilah membaca berita dari portal yang “tidak jelas”, dan mari kita rapatkan barisan dengan mem-follow akun Sang Raja. Karena dalam keheningan tanpa kritik, pembangunan pasti berjalan lancar… meski entah menuju ke mana.