Mungkin Ini Komentar Mark Twain Saat Endang Juta Ditangkap

lintaspriangan.com, INSPIRATIF. Berita penangkapan Endang Juta menyebar cepat di Tasikmalaya, seperti air yang menembus tanah kering setelah lama menunggu hujan. Dalam waktu singkat, kabar itu jadi bahan obrolan di warung kopi, grup WhatsApp, hingga ruang-ruang kantor yang biasanya hanya bisik-bisik karena diganggu intervensi politik.
“Bos pasir ditahan,” begitu ringkasan paling sering terdengar.
Bagi sebagian orang, berita itu terasa seperti kabar keadilan yang akhirnya datang juga. Alam yang rusak perlu dibela, dan mereka yang menambang tanpa izin memang harus bertanggung jawab. Tapi di sisi lain, ada mereka yang justru diam, menunduk, atau sekadar menarik napas panjang saat wajah Endang Juta menghiasi berita berbagai media.
Mereka bukan keluarga, bukan pula sanak-saudara. Mereka hanyalah orang-orang kecil yang pernah disentuh oleh kebaikan yang lahir dari tangan Endang Juta.
Ada keluarga miskin yang yang rumahnya dulu dibangunkan tanpa diminta.
Ada sepasang suami istri yang anaknya bisa terus sekolah berkat biaya yang tiba-tiba datang tanpa janji sebelumnya.
Ada jamaah majelis taklim yang rutin menerima amplop kecil setiap bulan.
Ada keluarga kecil yang saban bulan menerima beberapa kilogram beras gratis.
Atau, seorang pengurus masjid yang kenyang diajak makan di rumah makan Padang.
Semua kisah itu tidak muncul di persidangan. Tidak tercatat di BAP. Tapi ia hidup di hati orang-orang yang tahu rasanya dibantu tanpa diminta, tanpa syarat.
Mereka tahu, kesalahan tetaplah kesalahan. Alam yang rusak butuh keadilan. Tapi di saat yang sama, mereka juga tahu: manusia tidak bisa dihakimi dengan satu perbuatan saja. Di antara benar dan salah, ada ruang kecil bernama kebaikan, tempat sebagian hati masih memilih diam, bukan karena membela, tapi karena mengenang.
Seorang kader senior Golkar di Ciamis pernah berkata ini:
“Orang itu berbakti pada kebaikan.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi sesungguhnya dalam, dan relevan dengan fenomena penangkapan Endang Juta. Ada orang-orang yang tidak berbakti pada sosok, tidak pula pada nama besar, tapi pada kebaikan itu sendiri. Ketika mereka merasakan kebaikan, siapa pun pemberinya, setebal apapun debu di tangannya, mereka tetap berutang rasa.
Mungkin benar, alam pernah terluka karena tambang. Tapi mungkin juga, di saat yang sama, ada manusia-manusia kecil yang dulu disembuhkan oleh uluran tangan yang kini diborgol. Begitulah manusia: rumit, bertumpuk-tumpuk, tak bisa diringkas hanya dalam dua warna.
Dan malam ini, ketika wajah Endang Juta terpampang di layar ponsel dengan rompi tahanan, banyak getar kecil yang sulit dijelaskan.
Bukan bela kasihan, bukan juga pembenaran. Hanya semacam kesadaran bahwa hidup tidak pernah sesederhana kolom “baik” dan “buruk.”
Karena faktanya, tangan yang menambang pasir, juga tangan yang menambal luka.
Di sinilah kita, masyarakat yang menonton dari kejauhan, belajar lagi untuk tidak terlalu berlebihan dalam menilai. Karena di setiap manusia, selalu ada ruang yang tidak bisa dijangkau oleh berita, ruang di mana kebaikan masih bernafas, meski dari orang yang salah.
Jika saja Mark Twain (Bapak Sastrawan Amerika), hidup hari ini dan membaca berita penangkapan Endang Juta, mungkin ia akan tersenyum kecil dan mengulang kata-kata bijaknya yang mendunia:
“Kindness is the language which the deaf can hear and the blind can see.” ~ Mark Twain
Boro-boro butuh penjelasan hukum atau komentator, karena kebaikan bahkan tak butuh pendengaran dan penglihatan.






