Deni Daelani: “Pemuda Garda Terdepan Pembauran Kebangsaan”

lintaspriangan.com, BERITA TASIKMALAYA. Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Kabupaten Tasikmalaya, Deni Daelani, S.H., M.I.Kom., menegaskan bahwa momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan aksi nyata pembauran kebangsaan yang pertama di tanah air.
Menurut Deni, peristiwa bersejarah pada tahun 1928 itu menjadi tonggak lahirnya kesadaran nasional, ketika berbagai suku dan kelompok kedaerahan melebur menjadi satu dalam semangat yang sama bernama Indonesia.
“Sumpah Pemuda adalah titik balik pertama bangsa ini memahami makna pembauran kebangsaan. Di situlah untuk pertama kalinya perbedaan disatukan dalam cita-cita besar bernama Indonesia, dalam bentuk aksi nyata,” ujar Deni kepada Lintas Priangan, Senin (27/10/2025).
Pembauran: Jalan Satu-Satunya Menuju Kemerdekaan
Deni menjelaskan, Sumpah Pemuda tidak lahir dari ruang kosong. Sebelum 1928, gerakan perlawanan di Nusantara masih bersifat lokal dan sporadis. Namun para pemuda waktu itu sadar, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini untuk lepas dari penjajahan selain melakukan pembauran.
“Para pemuda sadar bahwa melawan penjajahan tidak bisa dengan kekuatan daerah. Harus dengan kekuatan kebangsaan. Faktanya, perlawanan terhadap kolonialisme sudah dilakukan sejak tahun 1600-an, tapi selalu gagal karena sifatnya parsial. Maka Sumpah Pemuda ketika itu adalah pernyataan sekaligus aksi nyata pembauran kebangsaan,” jelasnya.
Kongres Pemuda II menjadi momentum bersejarah ketika berbagai organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dan Jong Celebes melebur dalam satu semangat. Dari sanalah lahir ikrar “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa,” yang menjadi fondasi bagi berdirinya Indonesia.
Menurut Deni, semangat itu sangat relevan dengan konteks hari ini. Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi, bangsa Indonesia menghadapi bentuk “penjajahan baru” berupa disinformasi, polarisasi, dan degradasi nilai kebangsaan. “Kalau dulu para pemuda berjuang dengan darah dan air mata, kini perjuangan kita adalah menjaga agar perbedaan tidak dijadikan alasan untuk saling menjatuhkan,” katanya.
Pembauran Adalah Perjuangan, Bukan Slogan
Ketua FPK Tasikmalaya ini menegaskan, pembauran kebangsaan bukan hanya slogan indah, tetapi perjuangan yang menuntut keberanian dan pengorbanan.
“Bayangkan, di bawah tekanan kolonial Belanda, para pemuda menggelar kongres yang berisi semangat persatuan dan nasionalisme. Itu tindakan yang penuh risiko,” kata Deni.
Ia menambahkan, semangat pembauran yang ditunjukkan para pemuda 1928 menjadi pelajaran penting bagi generasi masa kini. “Pembauran menuntut kerendahan hati untuk menerima perbedaan. Ia tidak mungkin terwujud kalau kita sibuk mencari siapa yang paling benar,” ujarnya.
Pemuda Tetap Jadi Garda Terdepan
Deni menyebut, sejak dulu pemuda selalu berada di garis depan perubahan dan pembauran. Dari masa pergerakan nasional hingga era reformasi, pemuda menjadi motor utama gerakan kebangsaan.
“Kalau dulu pemuda bersatu melawan penjajahan, sekarang pemuda harus bersatu melawan kebencian, hoaks, dan sikap saling curiga antarsesama. Pemuda harus jadi jembatan, bukan dinding pemisah,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya pemuda untuk aktif di ruang publik dan digital. Media sosial, katanya, bisa menjadi arena baru untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya toleransi dan persaudaraan. “Jangan biarkan ruang digital dipenuhi ujaran kebencian. Gunakan teknologi untuk memperkuat rasa kebangsaan,” imbuhnya.
Menjaga Api Sumpah Pemuda
FPK, kata Deni, berkomitmen menjadi wadah yang menjembatani komunikasi antarunsur masyarakat, memperkuat harmoni sosial, dan menumbuhkan semangat kebangsaan di daerah.
“Semangat Sumpah Pemuda harus hidup dalam perilaku kita sehari-hari. Pembauran itu bukan teori, tapi gaya hidup bangsa. Kalau kita ingin Indonesia tetap kokoh, maka pembauran harus terus dijaga,” pungkasnya. (GPS)




