“Menjarah Data” Wakil Rakyat, Bukan Menjarah Rumah (Bagian 3)

lintaspriangan.com, KAJIAN LINTAS. Pokok-Pokok Pikiran DPRD (pokir) sejatinya adalah kanal resmi agar aspirasi rakyat masuk ke dokumen pembangunan daerah. Namun, di lapangan, mekanisme mulia ini kerap dibelokkan. Pokir yang seharusnya berisi kebutuhan masyarakat, berubah menjadi ladang transaksi politik.
Modus-Modus Penyimpangan Pokir
- Pokir sebagai “jatah proyek”
Secara hukum, pokir adalah input perencanaan, bukan anggaran siap pakai. Tapi seringkali ia diperlakukan seolah-olah “jatah” anggota dewan. Ketua Fraksi misalnya, dianggap punya alokasi lebih besar dibanding anggota biasa. Padahal, tidak ada satu pasal pun di UU 23/2014, Permendagri 86/2017, atau PP 12/2019 yang mengatur porsi seperti itu. Ini murni konvensi politik, bukan norma hukum. - Titipan kepentingan pribadi/kelompok
Dalam beberapa kasus, pokir diisi dengan program titipan untuk kelompok tertentu: proyek jalan menuju lahan pribadi, bantuan ke kelompok pendukung politik, atau hibah untuk organisasi yang dekat dengan anggota dewan, atau bahkan kepada yayasan milik keluarga dan kerabat. Pokir jenis ini sangat mungkin tak memiliki jejak reses, karena memang tidak lahir dari aspirasi masyarakat. Semua ini melanggar prinsip asas manfaat publik yang ditegaskan dalam UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. - Pokir jadi komoditas jual-beli
Fenomena lain: pokir ditukar dengan imbalan. Ada kontraktor atau pihak ketiga yang “menitipkan” program agar dimasukkan ke pokir dengan janji setoran. Tak jarang ada anggota DPRD yang menitip pokir di SKPD, lengkap dengan company profile perusahaan yang harus menjadi pelaksana atau penyedianya. Praktik seperti ini rawan menjadi tindak pidana korupsi, karena memenuhi unsur persekongkolan, suap dan gratifikasi sebagaimana diatur dalam UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. - Penggelembungan anggaran
Ada pula modus membuat usulan pokir dengan nilai anggaran jauh lebih tinggi dari kebutuhan riil. Selisihnya kemudian jadi ruang permainan. Praktik ini bertentangan dengan prinsip efisiensi dan efektivitas anggaran dalam Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD yang diterbitkan setiap tahun. - Pokir tanpa jejak publik
Pokir yang benar seharusnya terekam di SIPD (Permendagri 70/2019) dan bisa diakses masyarakat lewat PPID (UU 14/2008). Jika pokir tak pernah dipublikasikan, bahkan ditutup-tutupi, itu indikasi maladministrasi bahkan korupsi. Publik berhak menggugat keterbukaan ini ke Komisi Informasi atau Ombudsman. - Pokir tanpa seleksi prioritas
Pokir adalah usulan, bukan anggaran pasti. Idealnya, jumlah pokir tiap anggota DPRD berbeda, bergantung kualitas dan relevansi usulan. Ada anggota yang bisa punya banyak pokir karena usulannya relevan, ada pula yang sedikit karena usulannya lemah. Jika pokir disamaratakan, maka pokir berubah menjadi bancakan anggaran, bukan instrumen prioritas.
Contoh Kasus Nyata
- Jawa Timur – Dana Hibah Pokir (2021–2022)
KPK menetapkan empat anggota DPRD Jatim sebagai tersangka korupsi dana hibah pokir dengan kerugian triliunan rupiah. Modusnya berupa fee proyek.
Suara.com - Kabupaten OKU – Suap Proyek Pokir (2024)
Tiga anggota DPRD OKU dan Kepala Dinas PUPR didakwa menerima suap Rp3,7 miliar terkait proyek pokir.
Sumatera Ekspres - Jombang – Dugaan Korupsi Proyek Pokir (2023)
Kejari Jombang menyelidiki proyek pokir Rp3,8 miliar yang diduga merugikan negara Rp1,7 miliar akibat pelaksanaan tidak sesuai aturan.
Radar Jombang
Analisis Regulatif: Mengapa Menyimpang?
- Pokir hanya usulan, bukan anggaran siap pakai → diperlakukan sebagai jatah tetap adalah penyimpangan.
- Pokir harus melewati verifikasi Bappeda → kelolosan tanpa seleksi berlawanan dengan Pasal 78 Permendagri 86/2017.
- Pokir wajib transparan → penutupan akses publik melanggar UU KIP 2008 dan Permendagri 70/2019.
- Pokir harus berbasis kepentingan publik → jika diarahkan ke kepentingan pribadi, jelas melanggar UU 23/2014.
- Pokir harus berbasis prioritas → usulan yang kuat dan relevan boleh mendapat ruang besar, sementara yang tidak relevan bisa disaring. Regulasi memang menghendaki pokir berbasis urgensi, bukan sekadar bagi-bagi.
Pokir sejatinya instrumen demokrasi yang sah, tetapi ketika diselewengkan ia bisa menjadi ladang subur korupsi. Penyimpangan hadir dalam banyak wajah: jatah proyek, titipan kepentingan, jual-beli program, markup, hingga pemaksaan bagi rata.
Bagian 4 artikel ini akan mengulas bagaimana masyarakat bisa mengakses dan memanfaatkan pokir sebagai alat ukur kinerja wakil rakyat—secara praktis, sah, dan tanpa harus menabrak hukum. (Lintas Priangan/AA)



